Lokasi Pengunjung Blog

Rabu, 07 Oktober 2009

PIPES SHAPE



Ada beragam model pipa cangklong, diantaranya:

Minggu, 02 Agustus 2009

Pipa cangklong Meerschaum



Pipa cangklong, itu lho pipa rokok yang bentuk umumnya melengkung kayak saxophone, kini sudah jadi barang antik, lawas dan jadul. Ya, kegiatan “nyangklong” sudah lama tak terlihat lagi, tergusur oleh keberadaan rokok sigaret, rokok praktis siap sulut. Namun, meskipun kegiatan nyangklongnya sudah tidak ada, piranti cangklongnya masih bisa kita buru dan kita temukan. Dan tentu saja pipa2 cangklong itu sudah berusia uzur, seperti misalnya pipa cangklong yang dibuat dari kayu briar berwarna coklat seperti dalam foto itu. (Pipa cangklong kayu briar populer antara tahun 1850 hingga tahun 1950 an).

Yang lebih tua lagi adalah cangklong yang satunya, yang difoto nampak berwarna putih. Cangklong putih itu dibuat dari “batu” meerschaum alias hydrous magnesium silicate, atau H4Mg2Si3O10, yang terbentuk dari fosil kerang laut di jaman pra sejarah. Pipa cangklong meerschaum itu pernah ngetrend di tahun 1750 sampai tahun 1850, sebelum kemudian digantikan oleh pipa kayu briar. Tambang meerschaum yang terkenal selain di Turki juga ada di Tanzania. Dan pipa cangklong batu putih meerschaum yang difoto itu berasal dari Tanzania. Modelnya unik, sangat alami.

Gitu deh…

Kamis, 23 Juli 2009

THE CLAY PIPE



The 17th Century clay pipe had a very small bowl as Tobacco at that time was a luxury item as tea was when first introduced at almost the same time to Europe and the colonies. In the Elizabethan times clays were quite delicate with graceful thin bowls and long stems. The Dutch redesigned these clays by enlarging the bowl and lengthened the stem. These new pipes came to be known as the Alderman and were introduced by William II around 1700. The Alderman was hastily adopted by the English. This style was graced with a curve to the stem and called "Yard of Clay" or "Churchwarden" as it is still known to this day. By the 18th Century these pipes with larger bowls, the classic long stemmed Alderman or "Tavern Pipes" were among the most common style being made. The working classes, however often preferred a shorter clay.

With time, both the style and the material of pipes changed. In the 16th, 17th, and 18th centuries, clay pipes dominated the scene. Meerschaum, a form of mined clay made of hydrated magnesium silicate, was introduced from Asia Minor, but this material was very fragile and used by only the very wealthiest of smokers.

It was not until the 1850’s, with the influence of Spanish cigars and a sturdier briar pipe that the clay pipe’s popularity began to wan a bit. By this point, the clay pipe was considered appropriate only for the working class. This was by no means the end of the manufacture of clay pipes but now they began to see competition for the first time. A fancy pipe of Briar maybe even with fittings of sterling silver or gold could show ones stature just as a gold pocket watch could. Elaborate cases and other detailing made the personal pipe a treasure. Victorian tastes made a more sophisticated looking pipe a must.

By the 19th Century, Scotland and Ireland were the primary exporters of clay pipes from the UK. During the time of the great famine when waves of Irish and Scots were immigrating to the new world, these pipes had already acquired nicknames. They were often thought to always have a dhudeen, or short-stemmed clay pipe, in their mouths. Also, the Scottish/Irish styles were very recognizable. Dublins and Derries were two common shapes. African-Americans were often seen smoking white clay pipes later dubbed “Negro Pipes" or worse "Nigger Pipes”!

The 19th Century saw hundreds of designs manufactured. Pipes with figures, animals, and all sorts of emblems became common. Delightful and imaginative pipes of every description were being made from molds in Germany, Holland, and the USA as well as the UK the pipe making center of the 19th Century. To some extent racial stereotyping helped the clay pipe fall from favor despite the fact that a cool smoking clay is a superior smoke to almost any expensive briar or even some Meerschaum pipes. Cruel cartoons of Irish drunks and monkey-faced Black people appeared in periodicals like Harpers, and the London Daily News depicting the lowest classes as tobacco fiends and boozers.

By Beth Maxwell Boyle

THE PIPE TIMELINE


100 A.D. - Evidence shows Mayan civilization in Mexico was using pipes to smoke.

1500s - Tobacco and pipe smoking introduced to Europe.

- Sir Walter Raleigh popularizes the clay pipe in England.

1750s - Meerschaum, found in central Europe, is discovered to be an excellent material for pipe bowls.

1840 (Circa) - Francois Comoy begins carving pipes out of briar in Saint-Claude, France. Briar was revolutionary because it enabled the smoker to hold the bowl in their hand, which was impossible to do with clay pipes. Additionally, briar possessed a natural beauty and grain that clay could not.

1850s - The French begin producing wooden pipes with porcelain and clay bowl liners; a style of pipe which is still made today.

1860 (Circa) - Briar pipes become the standard throughout Europe for pipe tobacco lovers.

1868 - Henry Tibbe founded The Missouri Meerschaum Company (USA) which is still the largest producer of corncob pipes in the world.

1920s - Pipe smoking begins catching on in America as a sophisticated pastime. Until now, pipe shops were virtually non-existent in the U.S.: Tobacconists were primarily focused on cigars.

1950s - In America, pipe smoking becomes the symbol of sophistication and a re-assuring cultural icon: in part, thanks to movies, magazines, and marketing.

Today -

“Today, with over 10 million pipe smokers in America alone, the symbol of the pipe still provides an image of stability and in fact, is stronger than ever before due to a constant closing in and fear of the technological world around us. The pipe remains standing as a bastion of individuality and security. With the advent of computers, laser beams, and dehumanizing robots and words like “artificial intelligence,” “petrodollars,” and “megapollution,” mankind’s natural instinct is to seek solace and retain a sense of self-esteem by returning to the very basics of life. The pipe provides much of this. It is a trusted friend, a “working” companion and a symbol of all that is right and orderly in the world.”

-Richard Carleton Hacker
The Ultimate Pipe Book
Page 34 © 1997

Selasa, 07 Juli 2009

BISNIS YUK. Pipa Filter Sigaret, solusi smart merokok sehat



Salah seorang sahabat pena, menulis: “Ayahku meninggal karena kanker disebabkan oleh kegemarannya minum rokok”. Tulisan itu telah merangsang saya untuk kemudian memikirkan adakah cara minum rokok yang aman? Dan untuk menemukan jawabannya, saya gelar beberapa informasi, data dan fakta yang terkait seperti dapat kita pelajari bersama di bawah ini. Dan ternyata dari info yang secuil itu kita sudah bisa menemukan apa yang kita cari, yaitu solusi untuk merokok dengan lebih safe, lebih aman.

Jampi stress dan bikin rilek, itulah antara lain alasan untuk tetap merokok yang kerap terlontar dari bibir para perokok. Walau dihadapkan dengan 1001 macam bahayanya, tetap saja perokok klepas klepus…, ngrokok. Dan kitapun perlu memaklumi, karena bagi yang kadung cinta rokok, tentulah tidak mudah untuk menceraikannya, untuk berhenti merokok.

Kita bisa memaklumi alasan para perokok, namun dibalik itu muncul keprihatinan yang mendalam, terutama kalau melihat cara perokok Indonesia merokok rokok kretek yang dibuat secara manual dan tradisional, yakni tanpa dipasangi filter. Bagaimana tidak, batang rokok2 kretek itu langsung diselipkan dibibir, disulut dan diisap begitu saja…, sap sap saaaap. Ya, rokok kretek non filter, rokok kretek tanpa filter penyaring tar itu diisap dalam2 dengan penuh semangat, saban hari sejak dulu hingga nanti.

Tar atau biasa juga disebut “lelet” itu sendiri merupakan substansi hidrokarbon yang bersifat lengket dan bisa menempel dimana mana termasuk diparu-paru dan bisa bikin penyakit ini dan itu. Dengan mudah kita bisa melihat seperti apa rupa tar itu. Jari2 tangan perokok yang menguning semu coklat, gigi yang menguning, lidah yang kecoklatan dan bibir yang tidak lagi berwarna segar tapi berwarna sawo bosok, itu semua adalah gara2 tar. Dan pada tar itulah terutama terkandung bahaya besar dari rokok. Itu kata para dokter yang memang terkenal pinter2.

Tapi lain kata dokter lain pula kata perokok Indonesia. Bagi sebagian perokok Indonesia justru tar atau lelet itulah yang dianggap dan dipandang sebagai sari nikmatnya rokok, menjadi sebangsa candunya rokok. Ini tidak bohong, pendapat seperti ini saya dengar langsung dari beberapa perokok kretek. “Rokok telanjang beginian enak mas. Kalau pakai filter jadi kurang berasa, kurang mantab gitu loh…” kata mereka.

Padahal di negara maju, seperti di Amerika dan Eropa misalnya, semua perokok sudah biasa merokok dengan menggunakan filter pengaman. Mereka melakukannya sudah sejak 60 tahun lalu. Dengan memakai filter, mereka merasa lebih aman untuk merokok karena sebagian besar tar yang berbahaya bagi kesehatan itu bisa tersaring. Dan tentang filter itu mereka punya pengalaman serta kesaksian: ”Filter, cut the tar…, keep the taste” Atau juga:”Reduce tar without reducing taste”. Ya, mereka telah membuktikan bahwa filter rokok berhasil berfungsi memerangkap sebagian besar tar tapi tidak terlalu mempengaruhi aroma dan rasa rokok.

Tak bisa dibantah, rokok kretek memang terkenal di Indonesia, banyak sekali penggemarnya. Dan rokok kretek ini di produksi oleh pabrik2 rokok berskala raksasa.. Ya, mereka memproduksi rokok jenis ini yang dikenal pula dengan julukan Sigaret Kretek Tangan atau SKT, maksudnya sigaret kretek yang dibuat bukan oleh mesin pelinting otomatis melainkan oleh tangan para buruh linting. Industri SKT ini merupakan industri padat karya, menyediakan lapangan pekerjaan bagi jutaan tenaga kerja Indonesia, sehingga dipelihara dan juga dimanja oleh pemerintah. Sayangnya, sigaret kretek tangan ini, entah karena alasan apa, dibuat tak berfilter alias non filter. Dan dengan kekuatan iklannya, perusahaan2 besar itu mempersilahkan jutaan penggemarnya untuk mengkonsumsinya…, begitu saja. Ini membuat kesan bahwa para produsen rokok itu, yang kini pemiliknya menjadi orang2 terkaya, sungguh2 tidak peduli atas keamanan produknya dan tidak peduli pada kesehatan konsumennya. Dipikirnya, dengan memasang kolom peringatan akan bahayanya merokok, itu saja sudah cukup. Dan kita yang mengamati hal itu menjadi sebal: “Ini apa2 an? Emangnya tidak ada cara bagaimana membuat produk rokok kretek yang meskipun dibuat tak berfilter namun tetap aman untuk dirokok?”

Ah, sudahlah barangkali mereka kelewat sibuk menghitung laba. Dan kalau mereka enggan memikirkannya, ya kita sajalah yang mencoba mencari solusi, mencari jalan bagaimana caranya agar rokok dan merokok itu bisa lebih aman. Gitu aja kok repot…

Dan inilah hasil pemikiran yang semoga dapat menjadi solusi.
Menurut saya, sigaret kretek non filter buatan tangan itu akan lebih aman dikonsumsi jika perokok menggunakan PIPA SIGARET FILTER HOLDER atau sebut saja PIPA SIGARET, atau SIGARET HOLDER, atau SIGARET FILTER HOLDER atau FILTER HOLDER.

Benda itu bukan benda asing bagi saya. Selama ini Pipa Sigaret atau Sigaret Filter Holder itu (modelnya seperti dalam gambar), sudah saya kenal, bahkan juga sudah saya pasarkan lewat Kedai Mbako Tingwe, namun masih dalam kategori sebagai asesoris rokok saja.

Tapi sekarang, setelah mengenal dengan lebih baik duduk perkaranya, saya harus katakan bahwa SIGARET FILTER HOLDER itu bukan lagi sekedar asesoris rokok belaka melainkan sudah harus menjadi “Barang Kebutuhan Pokok Bagi Perokok!” Dan sama halnya dengan seseorang yang kecanduan rokok, tidak bisa lepas dari rokok, Sigaret Filter Holder inipun harus bisa menjadi sahabat setia bagi para penggemar rokok Indonesia.

Memang sih, bukan soal mudah untuk dapat mensosialisasikan penggunaan Sigaret Filter Holder ini, namun tetap saja saya terpanggil untuk melakukannya sebagai bentuk kepedulian terhadap sesama rekan perokok.

Dan siapa yang nyana, ternyata dibalik kata “kepedulian” itu tersembunyi pula “potensi bisnis Sigaret Filter Holder”. Ya, bisnis Sigaret Filter Holder ini sangat potensial untuk dapat dikembangkan menjadi sangat besar, yaitu ketika semua perokok atau sebagian besar perokok sudah bersedia menggunakannya demi keamanan merokok.

Jadi…, ayo kita garap mulai sekarang juga! Mau ikutan program “safe smoking” sembari berbisnis? Silahkan kontak saya, Dimas Anto di: 021 8411717 atau Hp 085692330090.

Gitu deh…
(Setelah hadir “Kedai Mbako Tingwe” untuk solusi merokok hemat atau save smoking, segera bakal dihadirkan “RUMAH PIPA FILTER SIGARET” untuk solusi merokok aman atau safe smoking. Begitulah kira2…).

Kamis, 18 Juni 2009

BISNIS YUK. Dengan 6 juta rupiah sudah bisa punya bisnis ngebul

Orang Jawa umumnya tahu istilah “tingwe”. Kependekan dari linting dewe. Maksudnya melinting sendiri. Ini untuk menggambarkan kegiatan para perokok yang melinting sendiri tembakau untuk kemudian diisap. Seperti yang dilakukan oleh orang-orang jaman dulu tatkala rokok kemasan seperti jaman sekarang belum jadi industri.

Sejak beberapa tahun belakangan, tembakau untuk keperluan tingwe ini mulai marak dijajakan di berbagai kota di Jawa. Penggemarnya bukan saja kalangan orang-orang tua, tapi juga anak-anak muda. Yang dicari agaknya adalah sensasi meramu sendiri tembakau itu. Plus keasyikan melintingnya menjadi bentuk yang benar-benar personalized, sesuai dengan keinginan si individu. Ditambah lagi sebagai semacam nostalgia ke masa lalu.

Dan kini di Jakarta warung atau kedai yang menjajakan tembakau “tingwe” pun dapat ditemukan. Salah satunya adalah “KEDAI TEMBAKAU TINGWE ANEKA RASA” atau "KEDAI MBAKO TINGWE" yang kita garap sendiri sejak beberapa tahun lalu, Kedai Tembakau Tingwe Aneka Rasa menjual produk: “Mbako Tingwe” , yaitu Tembakau Rokok Aneka Rasa, Alat Linting, Kertas Rokok, Filter, serta Aneka Asesoris seperti Dompet Rokok, Pipa Rokok Berfilter, Korek Api dsb.

Yang unik dari Kedai Tembakau Tingwe Aneka Rasa ini adalah tema kampanye pemasarannya. Kita tidak memilih mereklamekan sensasi melinting sendiri itu sebagai yang utama, melainkan harganya yang murah meriahlah yang kita tonjolkan. Mengapa begitu? Ya, mengingat sekarang ini jaman prihatin. Harga-harga naik, daya beli menurun. Keuangan keluarga harus dihemat. Sementara kebutuhan merokok tidak mungkin distop. Nah, tingwe bisa jadi solusinya. Bisa hemat sampai 60%.

Ini bukan bohong lho. Bayangkanlah. Harga rokok tingwe yang kita tawarkan berkisar dari Rp 13 ribu per 60 batang hingga Rp. 15 ribu per 60 batang atau rata-rata Rp 200 per batang hingga Rp 250 per batang. Bandingkan dengan harga standar rokok kemasan yang umumnya sudah dua kali atau bahkan tiga kali lebih mahal.

Mungkin ada yang bertanya. Ini kan rokok lintingan sendiri. Kok hitungannya per batang?
Memang. Produk Mbako Tingwe yang dijual di Kedai Tembakau Tingwe kita dipaket sedemikian rupa sehingga dalam satu paket, konsumen sudah mendapatkan alat linting, kertas rokok atau papir, filter, lem dan tembakau. Kalau belum bisa melinting sendiri, kita akan mengajarkannya. Kalau belum bisa juga, kita sediakan juga rokok yang sudah “jadi”.

Ada aneka rasa tembakau yang kita jual. Aneka rasa itu tidak berbeda jauh dengan rokok-rokok merek populer masa kini. Sebab, produk-produk Mbako Tingwe, tembakau rokok aneka rasa ini memang dihasilkan oleh produsen rokok dan peracik berpengalaman dari berbagai daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Kertas rokoknya sendiri nyaris persis dengan rokok-rokok kemasan populer, baik yang kretek maupun non kretek. Jadi jangan heran apabila nama-nama produk Mbako Tingwe ini bermiripan juga dengan merek rokok ternama. Misalnya ada yang kita namai Margono (plesetan dari Marlboro), Samsuri dan Samsul (plesetan dari Dji Sam Soe), Mail (plesetan dari Mild), Supri, Gafur, dan sebagainya. Produk kita bagi menjadi dua kelas, yakni B, dengan harga rata-rata Rp 13.000,- per 60 batang dan kelas A dengan rata-rata Rp 15 ribu per 60 batang. Sedangkan untuk tembakau rokok isi ulang – maksudnya tanpa alat linting – harganya Rp 8.000,- dan Rp 10.000,- per 60 batang.

ONGKOS DIPANGKAS
Menurut data, dari tahun ke tahun permintaan rokok di Indonesia terus meningkat. Tahun 1985, permintaan rokok baru 100 miliar batang. Pada tahun 2005 sudah menjadi 220 miliar batang. Dan perokok pemula di Indonesia tumbuh paling pesat sedunia yakni 44% usia 10 – 19 tahun dan 37% usia 20 – 29 tahun. Bisnis rokok pun meraksasa. Tetapi harganya pun turut naik seiring dengan makin banyaknya beban yang ditanggung produsennya; mulai dari biaya iklan, merek, distribusi, hingga cukai.

Dengan demikian, rokok tingwe jadi alternative karena menjanjikan penghematan besar. Dari sisi konsumen, harganya jelas jauh lebih murah, sementara rasa dan modelnya tak jauh berbeda dengan rokok kemasan. Dari sudut produsen, tembakau untuk tingwe ini bisa hadir dengan harga miring karena aneka biaya sudah dipangkas. Mulai dari ongkos linting, biaya overhead pabrik, biaya kemasan, biaya iklan, biaya distribusi, biaya administrasi, biaya umum dan lain-lain. Perjalanan tembakaupun dipersingkat. Setelah tembakau diracik dan dikenakan cukai, tembakau tidak dilinting, dikemas dan diedarkan oleh pabrik rokok, tapi langsung dihadirkan ke konsumen untuk dilinting sendiri antara lain melalui Kedai Tembakau Tingwe Aneka Rasa.

Lagi pula, membuat rokok tingwe itu sangat gampang. Modalnya tembakau, papir, filter, lem dan alat linting. Dengan berlatih beberapa kali, hasilnya tidak kalah dengan lintingan pabrik. Sementara rasa dan modelnya bisa diatur sesuai selera, malah bisa pakai filter juga.

Kedai tembakau yang kita kembangkan berupa warung atau kedai tempat kongkow-kongkow. Ada tersedia tempat duduk dan meja, plus aneka asesori yang berhubungan dengan rokok. Misalnya, di Kedai Tembakau Tingwe Aneka Rasa dijual juga dompet rokok, pipa rokok berfilter dan lain-lain. Selama ini omzetnya lumayan. Penjualan yang terutama memang dari Tingwe, tetapi penjualan asesoris juga cukup signifikan.

PELUANG KERJASAMA…, NANTI
Kita yakin bahwa harga-harga kebutuhan akan terus meningkat sementara kebutuhan akan rokok tak mungkin dinomorduakan, khususnya oleh para perokok. Kita juga yakin bahwa produk rokok tingwe akan makin jadi alternative di masa depan. Untuk itu pada saatnya nanti kita akan membuka peluang kerjasama bagi investor yang berminat.

Dengan investasi awal Rp 6 jutaan, seorang investor sudah bisa mengoperasikan Kedai Tembakau Tingwe nya, lengkap dengan produk tembakaunya. Praktis sang investor hanya menyediakan tempat dan sedikit renovasi interior agar sesuai dengan tema utama Kedai Tembakau Tingwe Aneka Rasa. Sementara tembakaunya sendiri akan kita datangkan. Kita menyediakan diskon yang cukup sehingga cabang mendapatkan margin yang menguntungkan. Tapi itu nanti…

Sekarang silahkan mampir dulu ke Kedai MBAKO TINGWE. Nikmati hematnya, nikmati sensasinya merokok tingwe. Alamatnya di: Jalan Raya Tengah, seberang Gang Antariksa, kampung Gedong, Pasarrebo, Jakarta Timur. Telpon: Dimas Anto 021 8411717.

Gitu deh…

(Sumber tulisan: Liputan tentang kedai Mbako Tingwe di Majalah "DUIT").

Kamis, 28 Mei 2009

Lho...?

Orang sudah banyak membaca peringatan mengenai bahayanya merokok, sehingga mereka memutuskan untuk..., berhenti "membaca"!!!.

Lho...?

Senin, 25 Mei 2009

KADUNG CINTA, APA MAU DIKATA…

Merokok itu gampang, bisa dilakukan bahkan oleh seorang bocah yang belum tamat SD. Tidak sulit, tidak perlu mikir, tinggal emut dan sulut, hisap dan hembus, bas-bus dan pas-pus. Simple, begitu saja. Pertama nyoba, mungkin mual dan pusing. Setelah dua tiga kali, yang terjadi bukannya kapok tapi malah nggatok. Dasar bocah!

Kita tidak bisa menyalahkan si bocah yang tergiur untuk mencoba. Siapa yang tidak ngiler ketika melihat bapak, pakde, paklik, pak guru, dan banyak orang lain di sekitarnya klepas-klepus merokok. Mereka menghisap rokok hingga merem-melek, terkesan nikmat sekaleee….

Jadilah kini, bocah kecil itu merokok. Sang bapak yang perokok berat tak berkutik. Paling pol Bapak hanya bisa pidato: ”Belum bisa cari duit, jangan merokok!” Bapak lupa kalau ada jatah uang jajan buat si bocah. “Oke Bos!” sahut si bocah seolah patuh, padahal di belakang hidung bapaknya dia asyik ngebul.

Begitulah, setiap detik dan setiap menit jutaan bocah perokok muncul di berbagai belahan dunia. Mereka bukan dilahirkan tapi dijadikan oleh lingkungan, oleh “keteladanan” para dewasa dan juga oleh pengaruh iklan rokok yang menggebu. Dan begitu seseorang mulai merokok, biasanya dia akan merokok untuk sepanjang hayatnya, akan sehidup semati bersama rokok. Kian waktu jumlah perokokpun kian bertambah.

Untuk soal tambah menambah ini Indonesia boleh dibilang juaranya. Laju pertumbuhan perokok pemula di Indonesia tercatat paling pesat sedunia, yakni 44% antara usia 10 – 19 tahun dan 37% usia 20 – 29 tahun. Permintaan rokok meningkat dari tahun ke tahun, dari 100 milyar batang pada tahun 1985 menjadi 220 milyar batang tahun 2005.

Merokok ternyata tidak hanya gampang, tapi juga enak tenan! Itu kata mereka yang hobi banget alias nggebis. Konon para penggebis mampu menghabiskan 30 hingga 40 batang rokok sehari. Percumalah menghimbau mereka untuk berhenti merokok. Walau ditatar dengan 1001 macam soal bahayanya tetap saja mereka merokok. Abis enak sih! Begitu alasannya tanpa penjabaran lebih jauh. Waton ngeyel memang, tapi ya seperti itulah sikap lebih dari 140 juta perokok Indonesia.

Soal mengapa sih kok orang merokok, Ernest Dichter seorang peneliti telah menelitinya pada tahun 1947. Dan kesimpulannya adalah:
-Smoking is as much a psychological pleasure as it is a physiological satisfaction.
-Salah seorang respondennya mengatakan : "It is not the taste that counts. It's that sense of satisfaction you get from a cigarette that you can't get from anything else."
-Penelitian lain menambahkan bahwa: Merokok is Fun, Is Reward, Is Oral Pleasure, Helps me think, Help us to relax, "With a Cigarette I Am Not Alone", "I Like to Watch the Smoke", "I Blow My Troubles Away", Obat stress, Sarana gaul dsb.

Di samping sisi yang enak2 itu ada juga sisi resiko merokok. Dari sudut kesehatan, bahaya rokok sudah sering dibahas. Katanya, dalam kepulan asap rokok terkandung 4.000 racun kimia berbahaya, dan 43 diantaranya bersifat karsinogenik (merangsang tumbuhnya kanker). Berbagai zat berbahaya itu, diantaranya adalah tar, karbon monoksida, dan nikotin.

Bahwa merokok itu beresiko, para perokok tahu. Tapi nampaknya sungguh enggan mereka untuk meninggalkan kebiasaan yang mengasyikan dan yang terlanjur melekat di keseharian. Yah…, kadung cinta, apa mau dikata. Abis merokok itu gampang dan..., enak siiihhh.

Gitu deh…

Minggu, 17 Mei 2009

SMOKING LADY...

Kamis, 14 Mei 2009

EROTISME JADUL…, PUNTUNG ROKOK RORO MENDUT


Roro Mendut nan jelita, merupakan salah satu tokoh dari sebuah kisah tragedi cinta yang melegenda di abad ke 17, pada awal berdirinya kerajaan Mataram. Di dalam salah satu fragmennya, ada kisah yang menarik tentang Roro Mendut dan rokok, tentang saat dimana Roro Mendut harus berjualan rokok.

Guna melariskan dagangan rokoknya, Roro Mendut menggelar live show, mempertontonkan aksinya saat mengisap rokok. Dia mengisap rokok sambil bibirnya “klamut klamut” dan matanya “merem melek”. Pembeli yang umumnya pria pun ngiler dan kesengsem dibuatnya. Dan puntung rokok alias rokok kuluman Roro Mendut pun jadi rebutan. Laris manizzz…

Ya, rupanya erotisme Roro Mendut ketika berjualan puntung rokok bekas kulumannya, telah menjadi daya tarik tersendiri….

Gitu deh…

Rabu, 13 Mei 2009

Merokok? Senyum doooong!

Kata mutiara atau mutiara kata ada bertebaran di mana2. Semuanya merupakan kata2 hasil renungan yang mendalam menyangkut kehidupan, pengalaman hidup. Jadi boleh dong kita simak. Dan inilah satu di antaranya.

SENYUM DOOONG!
Seseorang bilang: “Sebuah senyuman akan menambahkan sepuluh tahun lagi kehidupan.”
Orang lain bilang: “Sebatang rokok akan mempersingkat lima menit kehidupan.”

Kita bilang: “Merokok? Senyum doooong!”

Gitu deh...

Senin, 11 Mei 2009

Rokok Peyot..., ogah dong ah


Ini poster anti rokok. Maksudnya sih kesampaian, bikin orang ogah merokok.

Lha hiya lah, siapa yang mau merokok rokok peyot kayak gitu. Kalau mau ngrokok, orang milih rokok yang masih mulus en segar dong, bukan yang peyot en kempot.

Gitu deh...

Bukan gambar porno


Jangan bilang ini gambar porno. Ini gambar poster anti rokok. Pesannya agak kurang jelas sih, tapi kira2 gambar itu bilang gini: Rokok merokok...,No Way! Tapi kalau rokok "dirokok"..., Yes lah yauw.

Piye Jal?

Indonesia…, Smoking Area


Indonesia…, Smoking Area. Ya, itulah julukan yang kayaknya pas buat negeri ini, di saat ini. Julukan itu terlintas begitu saja di benak setelah saya selesai membaca artikel yang dibuat oleh teman2 di label Seputar Larangan Merokok. (Silahkan periksa artikelnya di halaman2 bawah).

Sebagai smoking area, maka pantaslah kalau segala bentuk larangan dan himbauan untuk “no smoking” kemudian tidak digubris…, oleh siapapun. (Kalaupun menggubris, itu sekedar basa basi lantaran “kagak enak ame tetangge”).

Masyarakat bukannya tidak mengerti bahwa rokok dan merokok itu tidak sehat, masyarakat sangat tahu akan hal itu. Tapi boleh jadi mereka berpikir, apa salahnya menikmati rokok, menikmati kesenangan kecil, ditengah kehidupan yang sangat getir ini. Ya, sekarang kehidupan memang masih serba sulit dan getir. Ini tak bisa disangkal.

Oleh karena itu prioritas menyehatkan bangsa bukanlah pada mengenyahkan rokok yang “pait ning karem” itu, melainkan harus kepada upaya bagaimana mengenyahkan kegetirannya; kegetiran yang masih saja menyelimuti kehidupan masyarakat dan yang yang sungguh menyesakkan dada.

Ketidak adilan, kesewenang wenangan, pemerasan, penindasan, sikap feodal, korupsi dsb., adalah kegetiran yang mematikan. Itu semua jauh lebih beracun, berbahaya dan “nggilani” daripada sekedar rokok.

Pada saatnya nanti rokok tentu akan mendapat giliran diurus. Tapi itu nanti...

Gitu deh...

Minggu, 10 Mei 2009

Lho Kok Sewot?


Kagak tahu deh alasannya mengapa nyonya itu sewot dan pengin ngguyur sang suami. Apa lantaran suami hobinya main golf ya? Terus di rumah sering merokok sambil melamun membayangkan saat "hole in one" sama si caddy... He he...
Piye Jal?

Rokok..., umpan tikus?


Mana mau tikus dijebak pakai umpan rokok. Pakai dendeng lha..., itu baru betul.
Piye Jal?

Pistol Mainan..., siapa takut?


Weh, siapa yang takut sama pistol mainan kayak gitu. Mana pelurunya? Kok rokok malah buat mainan. Sayang khan rokoknya. Rokok mahal lho.... He he...

The Shadow..., sang kancil


Tangan megang rokok itu mestinya bukan jadi bayangan gambar pistol, tapi lebih pas kalau menjadi gambar..., kancil. Ya betul, cocoknya jadi gambar bayangan "kancil nyolong rokok", dan jempol yang mengacung itu bakal jadi kuping sang kancil.
Piye Jal?

Smoking Period..., siapa monyet


Ini gambar bikin kita bingung. Apakah menggambarkan periode kemunduran jaman bagi rokok, ataukah melukiskan bahwa kalau ingin jadi manusia seutuhnya, maka rokok itu harus disulut dan dirokok sampai tinggal puntung? Kalau tidak dirokok, kita akan tetap berada di posisi monyet yang di ujung rokok itu.
Piye Jal?

Disulut..., Kagak Dirokok?


Lho kok disulut tapi kagak dirokok?
Piye Jal?

Smoking Is Beautiful..., Street Art

Smoking Is Beautiful..., smoking


Artist's Comments
New model: Lucy ... 1st session ... she is a singer and wanted some portraits and original pictures for her Book, Flyers and may be a CD cover ...

This picture is one of the last of the session and it's a lucky shot ... taken in 2 sec, we tried to do some more but this is the best ...
I find this one Strange and Strong ...

Smoking______by_philcopain

Jumat, 08 Mei 2009

Seputar Larangan Merokok…, Rokok Haram Kagak Sih?

Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jambi menilai belum saatnya merokok difatwakan haram, seperti yang sedang dikaji dan direncanaka oleh MUI pusat.

Ia mengatakan secara tegas dalam Al Quran memang tidak disebutkan merokok itu haram, namun dinyatakan segala sesuatu yang dapat merusak kesehatan dinyatakan haram. "Apa pun bentuk kegiatan, makanan dan minuman, bila dampak buruknya lebih besar dari pada manfaat baiknya dinyatakan haram," kata Ketua MUI Jambi Sulaiman Abdullah di Jambi, Kamis (14/8).

Masalah rokok jadi bahan pertentangan, karena ada sebagian orang yang mengisapnya merokok dapat membangkitkan inspirasi dan menyegarkan pikiran, namun ada pula sumber penyakit bagi orang yang tidak menyukainya.

Menurutnya, kategori haram juga bisa diberikan pada jenis minuman, seperti kopi dan teh, karena keduanya mengandung zat berbahaya bila dikonsumsi secara berlebihan. Namun bila kedua jenis minuman itu dikonsumsi sekadarnya atau sesuai aturan medis, justru lebih baik, termasuk rokok dan lainnya, karena memberikan manfaat bagi pemakainya.

Jadi, haram tidaknya rokok tersebut, lebih baik dikembalikan pada orang pengisapnya, jika itu sumber inspirasi dan pembuka pikirannya tidak diharamkan, namun bila memperparah penyakitnya, seperti paru-paru, batuk dan lainnya, maka rokok itu akan menjadi haram.

Dalam keterangan terpisah, Bustanudin, tokoh agama di Kelurahan Jelutung Kota Jambi mengatakan, fatwa haram untuk rokok yang akan di dikeluarkan MUI pusat perlu dikaji lebih dalam. Alim ulama dan Kiai juga banyak yang merokok, bila itu difatwakan haram, dikhwatirkan orang yang menjadi penuntun ilmu agama itu akan dilecehken oleh pengikut atau muridnya, karena dia sendiri sulit menghilangkan kebiasaan merokok.

Sumber: KOMPAS.COM

Kamis, 07 Mei 2009

Seputar Larangan Merokok…, Sisi Gelap Dunia Rokok

Oleh: Faisal Motik
http://www.republika.co.id

Dilematis. Ini mungkin kata yang paling tepat untuk menggambarkan masalah merokok bagi Indonesia yang tengah terpuruk dalam bidang sosial ekonomi. Negara sebagai pengambil kebijakan seolah-olah dalam posisi maju kena mundur kena.

Tongkat Dewi Peri
Dalam dunia rokok, banyak logika yang terbalik-balik. Misalnya, ada mitos yang berkembang di masyarakat bahwa riset tentang dampak rokok terhadap kesehatan belum tuntas. Padahal faktanya, lebih dari 70 ribu artikel ilmiah telah membuktikan secara tuntas bahwa konsumsi rokok dan paparan terhadap asap rokok berbahaya bagi kesehatan. Mitos lain, pandangan sebagian masyarakat bahwa larangan merokok di tempat umum melanggar hak asasi seseorang. Padahal yang benar, justru merokok di tempat umum itulah yang melanggar hak orang lain untuk menikmati udara bersih, juga hak untuk tak diganggu asap rokok yang beracun.

Rokok tak ubahnya si Dewi Peri yang bisa mengibaskan tongkat ajaibnya dan mengubah cara pandang manusia. Lihat saja, pemerintah Indonesia hingga kini masih memandang bahwa industri rokok memainkan peran penting dalam perekonomian. Cara pandang pemerintah itu memang benar, jika yang dilihat hanyalah hasil jangka pendek. Cukai industri rokok menyumbang 5 persen dari total APBN dalam setahun. Bahkan pemerintah pernah menyanjung industri rokok, karena mereka meberikan suntikan cukai dan pajak sebesar Rp 50 triliun pada 2006 (artikel Tulus Abadi, Koran Tempo, 9 April 2007).

Dengan cara pandang myopik (tanpa melihat jauh), industri rokok di Indonesia memang menguntungkan secara ekonomis bagi sekitar 11 juta orang yang terlibat dalam industri rokok secara langsung maupun tak langsung. Namun kalau pemerintah memakai cara pandang yang komprehensif dan holistik, akan terlihat betapa keuntungan jangka pendek itu mengakibatkan dampak sosial, ekonomi, dan kesehatan yang jauh lebih mahal.

Indonesian Tobacco Control Network dalam blog-nya menyebut bahwa dana yang diperlukan untuk mengatasi dampak rokok per tahun Rp 81 triliun. Lalu Hakim Sorimuda Pohan, anggota Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat, pernah menyebutkan bahwa biaya kesehatan yang terkait dengan masalah merokok mencapai Rp 14,5 triliun per tahun (Koran Tempo, 14 Maret 2007).

Juga Tulus Abadi dalam artikel yang sama, mengutip Dr Soewarta Kosen (An Economic Analysis of Tobacco Use in Indonesia, National Institute of Health Research & Development, 2004), menyebutkan bahwa pada periode 2001, total biaya konsumsi tembakau Rp 127,4 triliun. Jumlah itu digunakan untuk belanja tembakau, biaya pengobatan sakit akibat mengonsumsi tembakau, kecacatan, dan kematian dini. Angka tersebut setara dengan 7,5 kali lipat penerimaan cukai tembakau tahun yang sama, yaitu Rp 16,5 triliun.

Di luar itu, masih ada ongkos sosial, ekonomi, moral dan budaya yang belum dihitung. Menurut analisis Soewarta Kosen (ahli ekonomi kesehatan Litbang Departemen Kesehatan), total tahun produktif yang hilang karena penyakit yang terkait dengan tembakau di Indonesia pada 2005 adalah 5.411.904 disability adjusted life year (DALYs). Jika dihitung dengan pendapatan per kapita per tahun pada 2005 sebesar 900 dolar AS, total biaya yang hilang 4.870.713.600 dolar AS. Lalu pada periode 2001, jumlah kematian yang berhubungan dengan konsumsi tembakau mencapai 427.948 jiwa atau merupakan 22,5 persen dari total kematian di Indonesia.

Rokok dan Kemiskinan
Yang lebih menyayat hati adalah hasil penelitian Indonesian Forum on Parliamentarians for Population and Development (IFPPD) yang menghitung simulasi belanja pada keluarga miskin. Menurut survey BPS dua dari tiga ayah di Indonesia adalah perokok. Berdasar data itu, forum tersebut mencatat bahwa 12 juta ayah dari keluarga miskin adalah perokok. Mereka membelanjakan Rp 23 triliun setiap tahun untuk rokok.

Kaitan antara rokok dan kemiskinan pun tidak hanya terjadi di Indonesia, tapi juga di berbagai belahan dunia. Penelitian di Bangladesh yang berjudul hungry for Tobacco pada 2000 menunjukan bahwa tak pernah ada kata terlalu miskin untuk merokok. Sifat adiktif rokok membuat banyak orang melupakan prioritas. Kecanduan merokok susah dilepaskan, meskipun kondisi keuangan tak menguntungkan.

Wajah buruk dari dampak rokok dan industri rokok tidak terasakan. Mengapa demikian? Hal ini sangat dapat dimaklumi karena menurut survei AC Nielsen, kue iklan dari industri rokok pada tahun 2006 ini bernilai Rp 1,6 triliun. Uang sebesar ini bila dipakai untuk membeli rumah yang senilai Rp 50 juta bisa dapat 32 miliar unit rumah. Bayangkan bila uang itu disalurkan untuk subsidi perumahan rakyat, niscaya tak ada orang Indonesia yang menjadi gelandangan.

Namun kalangan industri rokok toh memilih menyalurkan uang senilai ‘32 miliar unit rumah’ itu untuk belanja iklan. Maklum, iklan melalui berbagai media, diyakini bisa ikut menggembirakan dunia rokok di kalangan masyarakat. Iklan rokok diyakini masih menjadi sarana yang efektif untuk menciptakan asmosfer psikologis masyarakat yang ramah pada rokok. Bahkan, iklan diyakini bisa menjadi faktor magis untuk membuai masyarakat pada kegemaran merokok. Dengan dana yang besar, kalangan industri rokok menyewa biro-biro periklanan yang cerdas dan piawai. Iklan-iklan rokok tersebut bisa dikatakan relatif sangat berhasil secara kualitatif.

Di luar negeri, contoh iklan rokok yang sukses adalah iklan Marlboro. Rokok produksi perusahaan Philip Morris ini pada 1954 pernah membuat iklan dengan ikon koboi gagah yang merokok di alam bebas. Konsep iklan itu sebetulnya untuk mempopulerkan sigaret filter, yang waktu itu masih dianggap feminin. Iklan Mallboro ini disebut-sebut sebagai salah satu dari iklan yang paling brilian sepanjang sejarah. Hanya dalam waktu sebulan, iklan itu mengubah citra rokok sigaret filter dari feminin ke maskulin. Dan dalam waktu delapan bulan sejak iklan Marlboro Man pertama kali diluncurkan, penjualan rokoknya meningkat 5.000 persen. Namun kesuksesan iklan tersebut menyimpan kisah ironis. Wayne McLaren dan David McLean, dua bintang iklan Mallboro, diberitakan meninggal dunia karena kanker paru-paru.

Beberapa kolega penulis yang meraih gelar doktor dalam bidang kimia, pernah menyampaikan bahwa dalam sejarah negeri kita dijajah oleh bangsa Eropa (Belanda), karena kita kaya dengan rempah-rempah. Salah satu primadonanya adalah cengkih dan tembakau.

Dari pengamatan dan penelitian para ahli, paling tidak ada 12 produk yang nilai dagangnya miliaran per tahun yang berbahan utama cengkeh, untuk berbagai keperluan baik pengobatan, kosmetik dan sebagainya. Ironisnya, produk itu sejak kita merdeka sampai sekarang tidak diproduksi oleh bangsa ini, kecuali sebagian kecil saja. Itupun lebih kepada keperluan lokal. Penulis berpikir untuk mengimbangi kekuatan perusahaan raksasa yang telah memproduksi barang-barang yang bernilai tinggi ini dibutuhkan pengusaha yang juga bermodal besar. Untuk ini alangkah baiknya bila perusahaan-perusahaan rokok di Indonesia diberi insentif untuk mulai mengubah orientasi produknya atau paling tidak mulai meluaskan produknya.

Ikhtisar
- Sepintas, industri rokok memberi keuntungan besar bagi Indonesia, karena itu pemerintah pun pernah memujinya.
- Dalam pandangan yang lebih holistik, kebiasaan merokok telah membuat orang-orang miskin makin tertekan.
- Jika dikonversi untuk membeli rumah, belanja iklan industri rokok bisa untuk menghapus kemiskinan di negeri ini.

(Faizal Motik, Pendiri dan Ketua Umum Masyarakat Indonesia Tanpa Rokok)

Seputar Larangan Merokok…, Remaja, Sasaran Empuk Industri Rokok

Sekelompok remaja berseragam sekolah duduk-duduk di ujung jalan. Bersenda gurau dan asyik berbagi cerita, sesekali mengisap sebatang rokok yang terjepit di jari tangan kanannya. Lelap mereka dalam perbincangan seru seraya mengepulkan asap rokok.

Ini bukan lagi pemandangan yang jarang terlihat, bahkan pemandangan itu sudah dianggap biasa oleh sebagian besar penduduk Jakarta. Pahit dan menyedihkan, asap rokok itu sudah merasuk ke paru-paru kalangan remaja Indonesia.

Kenyataannya, berdasarkan survei yang dilakukan Global Youth Tobacco Survey (GYTS) Indonesia tahun 2006 yang dilakukan terhadap remaja berusia 13-15 tahun, sebanyak 24,5 persen remaja laki-laki dan 2,3 persen remaja perempuan merupakan perokok, 3,2 persen di antaranya sudah kecanduan. Bahkan, yang lebih mengkhawatirkan, 3 dari 10 pelajar mencoba merokok sejak mereka di bawah usia 10 tahun.

Apa yang salah dengan anak-anak dan remaja Indonesia? Mereka memang menjadi sasaran empuk bagi industri rokok. Ketua Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia Widyastuti Soerojo pada lokakarya "Understanding Tobacco Industry Through Their Own Top Secret Documents", Selasa (6/11) di Jakarta, mengatakan, industri rokok memanfaatkan karakteristik remaja, ketidaktahuan konsumen, dan ketidakberdayaan mereka yang sudah kecanduan merokok.

Mengutip dokumen "Perokok Remaja: Strategi dan Peluang", RJ Reynolds Tobacco Company Memo Internal, 29 Februari 1984, yang dipresentasikan anggota Komisi Nasional Perlindungan Anak, Dina Kania, dikatakan, perokok remaja telah menjadi faktor penting dalam perkembangan setiap industri rokok dalam 50 tahun terakhir karena mereka adalah satu-satunya sumber perokok pengganti. Jika para remaja tidak merokok, industri akan bangkrut sebagaimana sebuah masyarakat yang tidak melahirkan generasi penerus akan punah.

Kebebasan dan berontak

Karakteristik remaja yang erat dengan keinginan adanya kebebasan, independensi, dan berontak dari norma-norma dimanfaatkan para pelaku industri rokok dengan memunculkan slogan-slogan promosi yang mudah tertangkap mata dan telinga serta menantang.

Menurut riset yang dilakukan Badan Pengawas Obat dan Makanan tahun 2006, sebanyak 9.230 iklan terdapat di televisi, 1.780 iklan di media cetak, dan 3.239 iklan di media luar ruang, seperti umbul-umbul, papan reklame, dan baliho.

Dengan gencarnya iklan yang dilakukan oleh industri rokok, berdasarkan GYTS Indonesia tahun 2006, sebanyak 92,9 persen anak-anak terekspos dengan iklan yang berada di papan reklame dan 82,8 persen terekspos iklan yang berada di majalah dan koran.

Slogan-slogan ini tidak hanya gencar dipublikasikan melalui berbagai iklan di media elektronik, cetak, dan luar ruang, tetapi industri rokok pada saat ini sudah masuk pada tahap pemberi sponsor setiap event anak muda, seperti konser musik dan olahraga.

Hampir setiap konser musik dan event olahraga di Indonesia disponsori oleh industri rokok. Dalam event tersebut mereka bahkan membagikan rokok gratis atau mudah mendapatkannya dengan menukarkan potongan tiket masuk acara tersebut.

Kedekatan remaja dengan rokok tidak hanya dikarenakan gencarnya iklan rokok di media, tetapi mulai dari lingkungan terkecilnya (keluarga). "Tahun 2004 hampir tiga perempat dari rumah tangga di Indonesia memiliki anggaran belanja rokok, artinya minimal ada satu perokok di dalam rumah," ujar Widyastuti. Ia menambahkan, setidaknya 64 persen remaja berusia 13-15 tahun terpapar asap rokok di dalam rumah.

Bahaya merokok

Jumlah konsumsi rokok di Indonesia, menurut the Tobacco Atlas 2002, menempati posisi kelima tertinggi di dunia, yaitu sebesar 215 miliar batang. Mengikuti China sebanyak 1,634 triliun batang, Amerika Serikat sebanyak 451 miliar batang, Jepang sebanyak 328 miliar batang, dan Rusia sebanyak 258 miliar batang.

Tidak seharusnya kita bangga dengan "prestasi" yang kita miliki karena di balik itu serentetan penyakit yang berujung kematian menghantui. Dalam satu kandungan sebatang rokok setidaknya terdapat 4.000 zat kimia dan 43 zat karsinogenik, dengan 40 persennya beracun seperti hidrokarbon, karbon monoksida, logam berat, tar, dan nikotin yang berefek candu.

Setiap tahunnya angka kematian di dunia mencapai lima juta orang diakibatkan berbagai penyakit yang disebabkan rokok, seperti kanker paru-paru dan penyakit jantung.

"Berdasarkan survei WHO, kematian pada 2030 mencapai 10 juta orang," ujar Direktur Pengendalian Penyakit Direktorat Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan Tjandra Yoga Aditama.

Di Indonesia, menurut Demografi Universitas Indonesia, sebanyak 427.948 orang meninggal di Indonesia rata-rata per tahunnya akibat berbagai penyakit yang disebabkan rokok.

Pencegahan

Adanya Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2003 tentang Pengamanan Rokok bagi Kesehatan dipandang tidak cukup efektif baik dalam mencegah maupun menanggulangi bahaya merokok. Alasannya, dalam undang-undang itu tidak ada ketentuan bagi industri rokok untuk membatasi kadar nikotin dan tar dalam rokoknya.

Padahal, pembatasan itu sempat dilakukan di Peraturan Pemerintah No 81/1999 tentang Pengamanan Rokok bagi Kesehatan yang direvisi atas desakan petani tembakau dan industri rokok.

"Satu-satunya alat yang efektif adalah undang-undang. Mengapa bisa efektif karena minimal ini bisa menjawab alasan industri yang mempertanyakan undang-undang yang mengaturnya. Jadi, undang-undang sangat penting," ujar Widyastuti.

Ia mencontohkan, salah satu produsen rokok yang dimintanya untuk melampirkan peringatan kesehatan dengan menggunakan gambar (visual), seperti di Thailand, menolak dengan alasan tidak ada undang-undang yang mengaturnya.

"Pengendalian dampak tembakau tidak berarti akan menurunkan pendapatan negara, justru sangat diharapkan agar pemerintah menaikkan harga dan cukai setinggi-tingginya untuk meningkatkan pendapatan negara. Kebijakan ini sekaligus dapat menurunkan konsumsi rokok walaupun tidak serta merta karena rokok adalah adiktif, minimal mencegah semakin banyak jatuhnya korban perokok remaja," ujar Widyastuti merujuk pada harga jual rokok di Indonesia yang hanya Rp 9.000 jauh lebih rendah dibandingkan dengan di Singapura seharga 11 dollar Singapura (Rp 66.000).

Berbeda dengan Widyastuti, pakar sosiologi Imam Prasodjo yang bertindak sebagai moderator di lokakarya itu justru mengedepankan pentingnya pendekatan melalui keluarga. "Mungkin ibu-ibu yang bisa menjadi solusinya karena mereka pasti ingin melindungi anak-anaknya dari bahaya rokok, bisa dilakukan pendekatan dengan memberi tahu bahayanya," ujarnya.

Disadari atau tidak, remaja di Indonesia sudah tereksploitasi oleh industri rokok, menjadi pangsa pasar terempuk untuk menggantikan banyak kematian pelanggan setia mereka.

Sumber: Kompas

Seputar Larangan Merokok…, Petani Tembakau Tak Takut

Oleh : Rahmi

Petani tembakau tak risau jika kelak Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan fatwa larangan merokok. Menurut Sekretaris Jenderal Asosiasi Petani Tembakau Indonesia, Abdus Setiawan, permintaan tembakau dalam sepuluh tahun terakhir selalu stabil. “Tidak naik ataupun turun,” kata Abdus, Kamis (14/08).

Larangan merokok, katanya, nyaris tak mempengaruhi industri rokok dan petani tembakau. Kampanye antirokok tidak cuma dikumandangkan saat ini saja. Sejak kecil sampai berusia 52 tahun, larangan merokok hampir tak pernah berhenti. “Tapi, pabrik rokok tetap produksi. Petani terus menanam tembakau,” ujar Abdus.

Menurutnya, kampanye antirokok bukan ancaman bagi petani. “Sebab kami menanam tembakau kalau ada permintaan dari industri rokok,” katanya. Petani tembakau juga sangat spesifik, hanya mereka yang punya lahan kering.

“Artinya tidak semua petani menanam tembakau. Kalau ada penurunan permintaan, hanya petani tembakau saja yang sawahnya sering kekeringan,” katanya.

Abdus setuju larangan merokok terus dikampanyekan, terutama kepada anak-anak. Caranya, gencarkan antirokok di sekolah, di tempat mangkal kaum muda, dan membangun kesadaran dampak buruk kepada semua kalangan. “Perokok itu hanya bergulir. Ada yang baru memulai, ada yang insyaf berhenti merokok,” tuturnya.

Majelis Ulama Indonesia akan mengeluarkan fatwa tentang larangan merokok. Anggota Komisi Fatwa MUI Ali Mustafa Yakub mengatakan, fatwa itu akan dibahas terlebih dahulu dalam musyawarah Komisi Fatwa MUI se-Indonesia. Waktunya setelah Ramadhan. Rencana ini sehubungan dengan desakan sejumlah kalangan, seperti Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia.

Selama ini MUI belum pernah mengeluarkan fatwa tentang merokok. Sebuah fatwa biasanya melalui proses permintaan atau pertanyaan dari masyarakat. Fatwa itu kemudian menjadi jawaban atas pertanyaan tersebut. Menurut Ali, masyarakat sebenarnya tak perlu menunggu fatwa dari MUI untuk berhenti merokok.

Ali menambahkan, agar para ulama mewaspadai lobi-lobi yang dilakukan industri rokok yang memanfaatkan para ulama untuk mengkampanyekan rokok kepada umatnya. Industri rokok ada yang menyuplai kebutuhan hidup seorang tokoh agama agar dalam ceramahnya meminta santrinya merokok.

Haram atau halalnya rokok, memang masih menjadi kontroversi dikalangan ulama. Namun berdasarkan survei, 93,9 persen remaja melihat iklan rokok, sebanyak 88,7 persen melihat iklan rokok di televisi, dan 93 persen melihat iklan rokok selama acara remaja dan olahraga. Indonesia merupakan satu-satunya negara di Asia yang belum merespons konfensi pengawasan atas peredaran rokok.

Seputar Larangan Merokok…, Pelanggaran Hak Asasi Manusia.

Oleh: Jane Pietra

Pelanggaran terhadap hak asasi manusia ternyata banyak macam dan bentuknya. Mulai dari pemaksaan beribadat, perpindahan agama, aborsi, sampai yang baru-baru ini menjadi perdebatan. MEROKOK.

Sejak tahun 2006 sudah beredar sebuah peraturan daerah yang MELARANG warganya untuk MEROKOK di tempat umum, dan bagi mereka yang MELANGGAR akan di kenakan sanksi kurungan selama 6 bulan. Namun selama ini perda tersebut dinilai TIDAK EFEKTIF. Karena ketidak efekifan tersebut Pemprov DKI Jakarta merevisi ulang perda tersebut, dengan mengurangi lama hukuman. Dari 6 bulan menjadi 3 bulan saja, dengan alasan agar dapat ditindak oleh Pegawai Negeri Sipil (detikcom).

Perda No.2/2005 tentang larangan merokok ditempat umum berlaku secara efektif mulai 6 April 2006. Dalam peraturan tersebut dicantumkan tempat-tempat yang menjadi daerah bebas rokok, diantaranya adalah pusat perbelanjaan, sarana kesehatan, tempat kerja (kantor), tempat yang secara spesifik sebagai tempat proses belajar mengajar, arena kegiatan anak, tempat ibadah dan angkutan umum. Selain itu akan terdapat ruangan khusus untuk merokok di setiap tempat-tempat yang tercantum dalam peraturan tersebut. Namun dalam pelaksanaannya semua tempat itu masih belum menjadi daerah yang bebas rokok. Memang sudah ada beberapa pusat perbelanjaan yang menyediakan ruangan khusus untuk merokok, tapi tetap banyak saja perokok yang tidak menggunakan tempat tersebut, dikarenakan “ENGGAN”. Saya tidak tahu pasti kata “enggan” yang dimaksud adalah enggan yang sebenarnya karena masih belum terbiasa atau memang karena MALAS DAN TIDAK MAU REPOT.

Lalu apa hubungannya dengan pelanggaran hak asasi manusia? Apa yang menyebabkan merokok dapat melanggar hak asasi manusia?

Hubungannya terletak pada pencemaran udara yang sehari-hari kita hirup. Seseorang mempunyai hak untuk hidup, itu hukumnya. Untuk hidup manusia sangat butuh udara yang bersih dan segar setiap detiknya. Jika udara yang kita hirup itu tercemar oleh asap rokok, maka yang akan kita hirup adalah racun-racun yang keluar dari sistem pernafasan sang perokok serta racun dari rokok itu sendiri. Bukan hanya racun yang mengganggu, tapi juga bau tak sedap dari asap rokok tersebut. Pelanggaran hak asasi manusia besar-besaran menurut saya, karena kita tidak lagi bisa menghirup udara yang bersih. Ketika ada seseorang atau dua orang yang merokok dan berdiri atau duduk di dekat Anda ketika menunggu, katakanlah, kereta api ekonomi tujuan Bogor, pasti Anda akan merasa risih (kecuali jika Anda seorang perokok juga). Rasanya tidak enak saja ketika Anda menarik nafas, yang Anda cium adalah bau asap rokok. Apalagi ketika Anda telah naik di keretanya, ada orang yang merokok di dekat pintu gerbong kereta. Angin yang bertiup masuk ke dalam gerbong kereta api tentu akan membawa serta asap rokok yang dihembuskan oleh perokok tadi, sehingga dapat di pastikan penumpang lainlah yang kena imbas asap rokoknya.

Merokok merupakan hak asasi manusia, karena setiap manusia berhak memilih apa yang mereka inginkan bagi diri mereka, namun di sisi lain menghirup udara segar juga menjadi hak manusia. Jadi apa salahnya, jika Anda seorang perokok hendaknya tidak merokok di tempat-tempat umum seperti kendaraan umum, kantin, stasiun, dan tempat-tempat yang telah di cantumkan dalam perda No.2/2005 tersebut. Meskipun di tempat Anda biasa merokok belum disediakan tempat khusus untuk merokok, lebih baik jika Anda merokok di tempat yang tidak ada orang atau jika Anda masih “NGEBET” untuk merokok lebih baik meminta izin kepada orang yang ada di dekat Anda. Mungkin Anda akan menerima tatapan aneh dari orang-orang tersebut dan sesuai dengan kebudayaan orang Indonesia pada umumnya, mereka akan cenderung memberi izin karena takut untuk berkata TIDAK!!

Jadi, mulailah untuk BERFIKIR dulu sebelum Anda merokok. Apakah pada saat itu Anda akan melakukan pelanggaran hak asasi manusia? kemudian yang penting untuk diingat adalah BACA TANDA PERINGATAN LARANGAN MEROKOK yang ada. Karena meskipun hanya lulusan SD, saya yakin Anda semua bisa melihat tanda yang ada. Apalagi jika Anda berpendidikan tinggi, pasti Anda bisa MEMBACA tanda tersebut dengan jelas.

Seputar Larangan Merokok…, NU Tetap Anggap Merokok Makruh

Sumber: Republika Newsroom

Nahdlatul Ulama tak serta merta mengikuti fatwa Majelis Ulama Indonesia yang mengharamkan konsumsi rokok. Fatwa larangan merokok itu dinilai akan sulit diterapkan mengingat batasan usia bagi anak-anak dan remaja sangat sulit dibuat.

Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Hasyim Muzadi menyatakan sejak dulu NU selalu menganggap rokok ini makruh. Ormas Islam terbesar di tanah air ini tak sampai menganggap rokoh haram lantaran mengandung relatifitas bagi pemakai dan bahayanya. ''Makruh artinya seyogyanya dihindari,'' ujarnya di Jakarta, Senin (26/1).

Hasyim menjelaskan rokok bersifat relatif lantaran bahaya terhadap pemakainya berbeda-beda. Menurutnya, ada orang yang kuat terhadap rokok namun ada pula yang lemah. Berbeda dengan minuman keras yang dampaknya bisa dipastikan berbahaya bagi pemakainya.

Dia menyontohkan ada orang yang harus merokok dahulu bila ingin menulis dengan baik. Namun bagi penderita TBC, rokok ini jelas dilarang. ''Jadi ada relativitas pada perokok dan bahayanya, relativitas inilah yang oleh NU diberi hukum makruh,'' tegasnya.

Hasyim tak hadir pada pertemuan MUI di Sumatera Barat yang memutuskan fatwa itu. Dia mempersilahkan saja MUI mengeluarkan fatwa ini. Namun dia khawatir fatwa itu tak bisa berjalan efektif terutama untuk larangan bagi anak-anak dan remaja mengingat fatwa tersebut tak memberikan batasan usia yang tegas. ''Silahkan MUI begitu, tapi NU tetap makruh,'' pungkasnya.

Seputar Larangan Merokok…, Merokok Sudah Jadi Gaya Hidup di Sekolah

Oleh: Marjohan M.Pd

Ada beberapa undang-undang atau peraturan yang tidak tertulis di sekolah, sudah disepakati dan diketahui oleh orangtua, anak didik, pendidik (guru) dan masyarakat. Peraturan-peraturan tersebut kalau dirunut dari skala larangan paling berat sampai kepada larangan ringan adalah seperti: tidak boleh melakukan pergaulan bebas, narkoba, minuman keras (miras), berjudi, pornografi, pornoaksi, merokok, memakai perhiasan berlebihan, berambut panjang, memakai seragam sekolah yang tidak pantas, sampai kepada mencontek selama ujian. Dan larangan ringan terbaru adalah tidak boleh membawa handphone ke sekolah karena bisa mengganggu PBM- proses belajar mengajar.

Mengkonsumsi rokok adalah dilarang di sekolah. Ini sudah diketahui oleh semua anak didik, guru dan orangtua siswa. Namun fenomena di negara kita dan juga fenomena di lingkungan sekolah bahwa hukum atau peraturan hanya untuk dipatuhi oleh kalangan bawah, kalau di sekolah adalah untuk anak didik. Seperti larangan merokok, ini hanya berlaku dan harus dipatuhi oleh anak didik. Kalau mereka ketahuan melanggar –merokok dalam lingkungan sekolah malah juga untuk luar sekolah- maka berarti mereka membuat kasus pelanggaran peraturan sekolah. Kasus pelanggaran tata tertib sekolah harus diproses mulai dari tingkat wali kelas, guru BK (Bimbingan Konseling), pihak Kepala Sekolah. Dan kalau tidak bisa dibina maka mereka "dibinasakan"- disuruh pindah sekolah atau dipulangkan ke orangtua.

Pelaksanaan larangan merokok tentu saja bervariasi wujudnya pada banyak sekolah. Ada sekolah yang melaksanakan dengan serius dan penuh tanggung jawab dan ada pula yang menerapkannya penuh pura-pura dan sekedar basa- basi. Sekolah yang sangat peduli dengan kualitas pendidikan, umumnya tidak mengenal basa basi dalam menegakkan disiplin dan wibawa sekolah. Namun bagi sekolah yang susah payah untuk meraih prestasi maka disiplin atau peraturan sekolah bisa ditawar- juga bisa sekedar basa-basi.

Sekolah yang siswanya, apa lagi kalau guru-gurunya, gemar merokok dapat dipantau dan dijumpai di mana- mana. Seringkali sarana tempat merokok mereka adalah di kantin atau di warung seputar sekolah milik masyarakat lokal. Beberapa anak didik sengaja membolos beberapa menit atau mencari alasan untuk keluar kelas dan menyelinap ke dalam warung dekat sekolah agar bisa mengepulkan asap rokok untuk memperoleh decak kagum dari teman- teman yang juga merintis diri untuk jadi perokok. Sebagian yang lain sengaja memilih tempat yang agak jauh dari sekolah agar bisa merokok seperti yang dianjurkan oleh puluhan sampai ratusan iklan rokok yang dikemas sangat menarik dan diiringi rayuan seperti : merokok untuk mewujudkan selera pria sejati.

Ada kritikan yang patut kita lontarkan kepada pemilik warung yang melegalkan rokok untuk siswa di seputar sekolah. Silahkan mencari rezki lewat berdagang dengan menyediakan kebutuhan makan minum warga sekolah, tetapi jangan mencari untung lewat bisnis rokok karena merokok adalah illegal untuk anak didik dan warga sekolah.

Tentu saja semua anak didik sudah tahu bahwa mereka tidak boleh merokok. Tetapi sebagian mereka menjadi bingung memahami nasehat yang berbunyi seperti ”merokok dapat merusak kesehatan”. Namun model atau suri teladan mereka di rumah (orang tua) dan di sekolah (guru- guru) melanggar nasehat ini. Dan akhirnya sebagian mereka yang lagi dilanda kebingungan untuk mencoba merokok atau tidak perlu merokok- merintis jalan untuk menjaji perokok sejati.

Larangan merokok tampaknya hanya ditujukan untuk anak didik, bagaimana untuk guru- guru? Larangan merokok tidak berlaku untuk guru guru perokok. Barangkali karena peraturan dan larangan dirancang oleh guru dan harus dipatuhi oleh anak didik. Sementara guru- guru sendiri seolah olah memiliki hak kebal hukum. Pantaslah banyak guru yang semau gue merokok di lingkungan sekolah.

Guru perokok yang masih bersembunyi saat merokok masih bisa dianggap sebagai guru perokok yang memiliki sopan santun. Namun bagaimana dengan guru yang memperlihatkan kekuasaannya, dengan rasa enteng minta tolong belikan rokok pada anak didik dan merokok di depan keramaian murid seenaknya. Dan ada guru yang dengan arogannya merokok di dalam kelas saat melaksanakan PBM- Proses Belajar Mengajar. Bagi guru yang begini maka berlakulah peribahasa yang berbunyi : guru kencing berdiri, murid kencing berlari. Kalau guru menjadi suri teladan yang jelek maka tentu kelak anak didik mereka menjadi lebih jelek lagi. Kalau guru adalah perokok yang hebat dalam kelas maka jangan salahkan kalau kelak ada anak didik yang menjadi pemakai narkoba dan peminum miras- minuman keras.

Melihat fenomena di atas maka dewasa ini setiap anak didik perlu untuk memiliki daya tahan yang lebih hebat untuk tidak merokok. Karena ajakan untuk merokok- memasukan asap rokok kretek atau zat- zat beracun ke dalam paru- paru datang dari berbagai pihak. Saat mereka tahu dengan bahaya merokok, namun di rumah mata mereka menatap orang yang mereka hargai- bapak, kakak, paman, kakek dan tetangga- menghisap rokok dengan ekspresi kenikmatan. Di sekolah mereka juga terganggu oleh gaya guru yang dengan enteng menghisap rokok.

Siswa yang tidak pernah merokok pun akhirnya memperoleh pressure atau tekanan dari teman sebaya yang sudah menjadi perokok junior. Mereka yang tidak merokok akan diberi ejekan- hukuman psikologis- sebagai orang yang tidak jantan. ”hanya orang perempuanlah yang tidak merokok, atau dia tidak merokok karena pingin naik haji- alias ia orang yang amat kikir”. Tekanan dalam bentuk ejekan sangat mujarab untuk membuat anak didik (teman sebaya) segera mencoba merokok sampai akhirnya juga jadi pencandu rokok.

Andaikata ada yang tidak percaya dengan judul tulisan ini, maka marilah kita kunjungi sekolah- sekolah SLTA – SMA, SMK dan Madrasah- di beberapa daerah pada saat sekolah usai. Kita akan melihat siswa-siswa bubar, melangkah menuju rumah, maka pasti terlihat beberapa siswa mulai memegang bungkus rokok. Mereka saling bercanda dan melempar ejekan pada yang tidak merokok atau meledek teman yang merek rokoknya kurang gaul.

Memang merokok kelihatan sudah menjadi gaya hidup bagi sebagian guru dan sebagian anak didik. Fenomena para perokok adalah bila mereka saling berjumpa maka mereka saling meminta atau menawarkan korek api. Atau sebelum mereka memulai percakapan mereka saling menyodorkan bungkus rokok kretek sebagai tanda persahabatan yang tulus. Ini adalah bukti bahwa merokok bagian dari gaya hidup. Sambil mengepulkan asap nikotin dari bibir yang hitam maka barulah meluncur kalimat- kalimat pergaulan mereka.

Sepuluh atau dua puluh tahun yang silam jumlah produksi rokok tentu saja tidak sebanyak yang sekarang. Namun kini produksi rokok sudah amat mengkhawatirkan dari sudut jumlah rokok dan jumlah merek rokok itu sendiri. Rokok rokok- pemilik industri rokok- tersebut saling berlomba untuk menarik dan mengajak semua orang agar segera mejadi perokok sejati. Iklan rokok dengan bahasa yang indah- membujuk dan mengajak semua orang untuk jadi perokok- terpajang di depan mata dimana- mana; di gardu polisi lalu lintas, pada jalan raya utama, di tempat keramaian anak anak muda. Malah industri rokok tidak segan- segan bersedia menjai sponsor atau donator dari berbagai kegiatan sekolah selagi spanduk nama rokok mereka tidak lupa untuk dipajang.

Masih adakah orang yang peduli sekarang untuk menasehati anak didik dan guru- guru untuk tidak merokok? Terus terang bahwa merokok sebagai gaya hidup tidak memberikan manfaat apa-apa, kecuali hanya memberi mudharat dalam meracuni paru-paru anak-anak muda. Memilih merokok sebagai gaya hidup sangat merugikan diri karena mendatangkan penyakit. Menjadi penghisap rokok hanya memberikan keuntungan bagi pemilik pabrik rokok yang punya niat tidak baik yaitu untuk meraup laba dan ikhlas membuat pencandu rokok untuk segera sakit atau pelan-pelan bergerak menuju kematian.

Bukankah sudah cukup banyak jumlah orang yang meninggal karena mengalami sakit paru-paru gara-gara mejadi pencandu rokok yang hebat dalam hidupnya? Maka kini fikirkanlah untuk menjadikan merokok sebagai gaya hidup di sekolah.

(Marjohan, Guru SMA Negeri 3 Batusangkar)

Seputar Larangan Merokok…, Merokok Jelas Merusak Kesehatan, Bukan Polusi Udara

Oleh: Eddi Santosa - detikNews

Di Indonesia larangan merokok di tempat publik masih memihak industri rokok, dengan dikaburkan ke 'polusi udara'. Di Belanda tegas: merokok merusak kesehatan, karena itu bukan perokok harus dilindungi.

Konsideran penting dari larangan merokok di Belanda, yang dituangkan dalam Tabakswet (UU Tembakau) adalah tegas: demi melindungi rakyat dari penyakit jantung dan pembuluh darah, kanker, dan puluhan jenis penyakit kronis lainnya seperti COPD atau chronic obstructive pulmonary disease (penyakit paru kronis obstruktif).

Tidak ada pengaburan dengan polusi udara. Pesan Undang-undang jelas dan tegas bahwa merokok merusak kesehatan. Pada konsideran berikutnya baru disebutkan bahwa UU tersebut bertujuan untuk mengurangi jumlah perokok dan membatasi gangguan yang disebabkan oleh asap rokok.

Baik merokok aktif maupun merokok pasif itu sangat merusak kesehatan, terutama anak-anak dan wanita hamil jika mereka terpapar asap rokok (merokok pasif, alias ikut menghirup asap rokok yang disemburkan oleh orang lain yang merokok).

Pertumbuhan bayi dalam kandungan terbukti terganggu akibat asap rokok, antara lain ditunjukkan dengan berat badan bayi yang ringan saat kelahiran. Sedangkan pada anak-anak, asap rokok dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan dan penyakit kronis pada saluran nafas.

Selain itu anak-anak yang terpapar asap rokok perlahan-lahan dapat ketagihan, yang kelak dapat menyebabkan mereka ikut menjadi perokok. Bagi industri rokok, situasi seperti itu jelas menjadi jaminan pasar abadi.

Di Belanda, anak-anak yang pada usia ABG tergelincir mulai merokok 75% dari mereka menjadi kecanduan. Pada 2003 tercatat 9.000 perokok terkena kanker paru-paru.

Tabakswet mulai diundangkan pada 1990. Iklan rokok dan sponsor dalam bentuk dan kedok apapun, termasuk kedok olahraga dan musik, dilarang. UU ini terus diperluas dan dipertegas (2002, 2003, 2004).

Mulai 1 Januari 2004 Belanda sudah memberlakukan larangan merokok di tempat publik kecuali horeca (hotel, restoran, cafe). Setelah dipandang cukup siap, mulai 1 Juli 2008 berlaku pelarangan total merokok di semua ruang publik, termasuk horeca.

Perang politik melawan rokok ini juga didasari riset yang menunjukkan bahwa kompensasi ekonomi atas biaya kesehatan rakyat akibat merokok ternyata jauh lebih besar dari pendapatan cukai dan pajak rokok.

Seputar Larangan Merokok…, Menimbang Kawasan Tanpa Rokok di Yogya

Oleh: Didik Joko Nugroho
http://www.kr.co.id

HARI-HARI ini publik Yogyakarta dihangatkan dengan perbincangan ditetapkan pasal yang mengatur tentang kawasan larangan merokok di dalam Perda Pencemaran Udara. Perda Pencemaran Udara ini mempunyai visi besar untuk meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat Yogyakarta. Seiring dengan visi tersebut maka asap rokok menjadi salah satu indikator baku mutu udara. Masuknya asap rokok dalam indikator baku mutu udara ini tak ayal memunculkan wacana untuk menerapkan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di tempat-tempat tertentu.

Dalam sebuah penelitian diungkapkan bahwa pencemaran udara akibat asap rokok sepuluh kali lebih besar dari pencemaran akibat mesin diesel. Selain itu dari asap yang dihasilkan oleh seorang perokok, 15% dihisap oleh perokok (active smoker) itu sendiri sedangkan 85% dihisap oleh orang di sekitarnya (passive smoker). Paparan asap rokok ini mengandung 4000 zat kimia beracun, 43 di antaranya bersifat karsinogetik (merangsang tumbuhnya kanker). Beberapa zat yang sudah familier dalam perbincangan kita sehari-hari seperti tar, nikotin dan karbon monoksida (CO).

Melihat fakta-fakta ini maka perlunya sebuah regulasi tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR) mutlak diperlukan. Di beberapa daerah seperti DKI Jakarta dan Palembang regulasi tentang kawasan bebas asap rokok sudah diatur secara khusus dalam bentuk Perda maupun Peraturan Gubernur. Kebijakan-kebijakan di tingkat daerah ini sebenarnya merupakan implementasi Peraturan Pemerintah yang dibuat terlebih dahulu seperti Peraturan Pemerintah No 81/1999 No 19/2003. Semua Peraturan Pemerintah ini tidak mencantumkan sanksi ataupun aturan tentang kawasan bebas asap rokok dengan harapan dibuat oleh masing-masing Pemerintah Daerah. Harapan PP No 19/2003 ini ternyata ditangkap dengan tafsir yang bermacam-macam di tingkat daerah, DKI Jakarta dengan Peraturan Gubernur Nomor 5 Tahun 2005 mengatur secara tegas tentang kawasan larangan merokok akan tetapi bagi beberapa daerah ketidakjelasan sanksi dan aturan ini menyebabkan daerah kesulitan mencari rujukan dalam hal penegakan hukum nantinya.

Regulasi yang Membumi
Melihat adanya dilema penerapan regulasi Kawasan Tanpa Rokok (KTR) ini maka diperlukan beberapa upaya yang harus dilakukan dengan simultan.

Pertama, mengembalikan filosofi baku mutu udara. Keberadaan regulasi di tingkat pusat yang multitafsir mengakibatkan respons di tingkat lokal pun menjadi beragam. Hal ini tercermin dari kebingungan Pemda dalam menerapkan PP No 19/2003 khususnya Pasal 22 tentang kewajiban menerapkan Kawasan Tanpa Rokok. Gubernur DIY juga mengungkapkan bahwa belum adanya ketentuan dari Pemerintah Pusat tentang baku mutu udara emisi dari komponen sumber pencemaran orang merokok akan menyulitkan dalam hal penegakan hukum nantinya.

Melihat permasalahan yang bermuara dari ketidakjelasan regulasi di tingkat pusat maka diperlukan kearifan dari stakeholder di tingkat daerah untuk mencoba berpikir ke belakang tentang latar belakang munculnya regulasi tersebut. Sebuah proses untuk mencoba mengungkap dan mengembalikan regulasi tersebut di tingkat filosofis. Dalam tataran pragmatis keberadaan aturan tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR) kita tarik belakang sebagai sebuah rangkaian mewujudkan lingkungan yang berkualitas di sisi kualitas udara. Dengan mencoba mengembalikan ke filosofi awal regulasi maka akan mempermudah untuk membuat peraturan secara detail termasuk di dalamnya adanya sanksi pelanggaran.

Kedua, adanya upaya penyadaran dan asistensi terhadap masyarakat. Dalam masyarakat kita, merokok sudah merupakan hal yang sudah menyatu dalam denyut kehidupan. Artinya, ketika seorang perokok merokok dalam lingkungan publik sudah bukan menjadi suatu masalah. Hal ini dibuktikan dengan fakta bahwa merokok bukan sesuatu yang tabu dalam budaya kita, berbeda dengan pemakaian narkoba atau perilaku mencuri yang jelas-jelas pantangan bagi masyarakat kita.

Ada sesuatu yang salah dalam kerangka pikir sebagian masyarakat kita bahwa merokok bukan sesuatu yang berbahaya bagi kehidupan kita. Fakta bahwa dalam sebatang rokok terkandung 4.000 racun kimia dan menyebabkan gangguan semua organ tubuh kita seolah tertutup oleh kenikmatan dan citarasa yang ditawarkan oleh sebatang rokok. Kerangka berpikir secara instan (instan culture) menjadi tembok besar penghalang penyadaran terhadap bahaya rokok. Efek dari perilaku merokok yang dirasakan setelah 10-20 tahun mendatang menyebabkan para perokok akan selalu mencari pembenaran sepihak ketika diberikan pemahaman tentang bahaya merokok.

Untuk itulah diperlukan upaya-upaya penyadaran secara masif baik melalui institusi kesehatan, akademisi, dan masyarakat. Upaya penyadaran ini dengan memberikan fakta-fakta baik secara ilmiah ataupun empiris terkait efek rokok dari sisi kesehatan, ekonomi, dan hubungan sosial. Keberadaan klinik-klinik berhenti merokok menjadi salah satu tawaran yang strategis dalam upaya penyadaran ini.

Setelah proses penyadaran maka asistensi terhadap kesadaran masyarakat ini menjadi hal pokok yang kemudian harus dilakukan. Di sinilah peran penting dari komunitas-komunitas sosial yang peduli terhadap upaya penghentian merokok seperti LSM dan institusi kesehatan diperlukan.

Ketiga, penegakan regulasi. Pengalaman penerapan Perda No 2 Tahun 2005 tentang pengendalian pencemaran udara oleh Pemda DKI Jakarta merupakan pengalaman yang berharga.

Keberadaan peraturan yang secara tegas melarang orang merokok di tempat-tempat tertentu tersebut ternyata semakin lama semakin tidak efektif berjalan. Walaupun peraturan tersebut telah disertai dengan sanksi-sanksi yang cukup berat, di antaranya denda 50 juta dan kurungan selama 6 bulan tidak dapat menimbulkan efek jera bagi para perokok. Di awal penerapan Perda tersebut petugas dari Pemda DKI aktif merazia dan menindak orang-orang yang tetap merokok di kawasan yang dilarang akan tetapi seiring berjalannya waktu dan banyaknya pelanggar maka ketegasan dari para petugas pun kemudian melemah.

Berkaca dari pengalaman ibukota ini maka untuk rencana penerapan regulasi Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di Yogyakarta mutlak diperlukannya konsistensi dalam penegakan peraturan tersebut. Konsistensi dalam hal ini meliputi sosialisasi dan penindakan pelanggaran. Konsistensi sosialisasi diperlukan agar masyarakat mengetahui keberadaan peraturan tersebut beserta konsekuensi-konsekuensi terhadap pelanggarannya. Sedangkan konsistensi penindakan pelanggaran diperlukan untuk memberikan efek jera terhadap para perokok yang tidak mengindahkan keberadaan Kawasan Tanpa Rokok (KTR).

Keempat, keteladanan para pemimpin. Tidak dapat dipungkiri bahwa budaya paternalistik masih sangat kuat di dalam masyarakat Indonesia. Oleh karena itu afektivitas dari regulasi yang mengatur tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR) salah satunya akan bergantung pada keteladanan dari para pemimpin, baik itu pemimpin formal maupun informal. Masyarakat bawah dalam kesehariannya hanya akan melihat apa yang dilakukan oleh para pemimpinnya ketika pemimpin konsisten dengan aturan yang mereka buat maka rakyat pun akan patuh tetapi apabila pemimpin melanggar aturan maka akan begitu pula dengan rakyatnya, ibarat peribahasa guru kencing berdiri, murid kencing berlari.

(Didi Joko Nugroho, Staf Quit Tobbaco Indonesia, Center for Bioethics and Medical Humanities, Fakultas Kedokteran UGM)

Seputar Larangan Merokok…, Perlu Masuk Perda; Pencemaran Udara

Sumber: http://www.kr.co.id

YOGYA (KR) - Kondisi udara di DIY telah terindikasi terus tercemar, sehingga membuat turunnya mutu udara ambien. Selain itu juga menyebabkan menurunnya daya dukung lingkungan dan kesehatan manusia dan makhluk lainnya. Tidak terdeteksinya besaran gas buang kendaraan bermotor, membuat pencemaran kurang terkendali.
Demikian sebagian dari tanggapan fraksi-fraksi yang terungkap dalam Pandangan Umum Fraksi-Fraksi Rapat Peripurna DPRD DIY, Rabu (13/6). Rapur yang dihadiri oleh Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Wakil Gubernur DIY, KGPAA Paku Alam IX menanggapi pengajuan dua Raperda, yakni Raperda Pencemaran Udara dan Raperda PD Jamkesos.

Menurut Fraksi Amanat Nasional (FAN), pengajuan Raperda Pencemaran Udara ini sudah terlambat. “Bahkan pada tahun 2003, saat dilakukan uji emisi kepada 500 kendaraan yang beroperasi, 69 persen tidak memenuhi Baku Mutu Emisi sumber bergerak sesuai SK Gubernur No 167/2003,” ungkap juru bicara FAN, Sudaryono.

Selain itu, sejumlah fraksi juga mencermati pencemaran akibat merokok. Merokok merupakan salah satu sumber pencemaran udara, terutama di dalam ruangan. Aturan mengenai merokok di dalam ruangan, perlu diatur dalam Peraturan Daerah (Perda), selain pencemaran udara lainnya.

Menurut pihak FAN, dalam Raperda yang diajukan oleh eksekutif, perlu juga dimasukkan ketentuan merokok di dalam ruangan. Namun sayangnya, dalam Raperda itu, ternyata tidak mengatur pencegahan pencemaran udara dalam ruangan.

Sedangkan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS) juga mempertanyakan tidak masuknya pengaturan merokok dalam ruangan ke Raperda yang diusulkan. Seperti kita ketahui, merokok adalah salah satu aktifitas yang menghasilkan asap dan kemudian mencemari udara. Penelitian ilmiah tentang bahaya perokok pasif telah dilakukan selama lebih dari 20 tahun. Tidak ada keraguan bahwa merokok secara pasif sangat berbahaya bagi kesehatan manusia, menyebabkan kanker dan banyak penyakit pernafasan serta kardiovaskuler pada anak-anak serta orang dewasa, dan tidak jarang mempercepat kematian.

Sedangkan juru bicara Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (FPDIP), HN Krisnam mengemukakan, aspek perilaku dan budaya tidak dapat ditinggalkan di dalam usaha memperbaiki kualitas lingkungan, termasuk di dalamnya adalah kualitas udara. Di sisi lain, penegakan hukum lingkungan merupakan hal yang tidak boleh ditawar lagi. Oleh sebab itu, Fraksi PDIP di dalam perbaikan kualitas udara mendukung sebuah payung hukum berupa Peraturan Daerah Tentang Pengendalian Pencemaran Udara ini.

Bahaya pencemaran udara juga disampaikan oleh Fraksi Kebangkitan Bangsa (FKB). Melalui juru bicaranya, H Abdul Halim Muslih mengemukakan, dari penelitian telah membuktikan bahwa dampak pencemaran lingkungan telah menimbulkan kerawanan kesehatan secara serius, antara lain berbagai kelainan pada ibu hamil dan bayi lahir dan mengancam siapa saja. Hal ini menjadi masalah serius bagi keberlangsungan generasi masa depan. “Pengendalian polutan sebetulnya menjadi langkah penting dan prioritas untuk menciptakan kenyamanan, menjaga kesehatan dan keberlangsungan generasi sehat. Masalah klasik yang dihadapi dalam hal penegakan hukum adalah aparat yang permisif terhadap pelanggaran yang kemudian melahirkan sikap kolusi dan bahkan korupsi.

Seputar Larangan Merokok…, Dosa Orang Dewasa

Oleh: Risang Rimbatmaja

Global Youth Tobacco Survey atau GYTS Indonesia menyebutkan 24,5 persen remaja laki-laki Indonesia adalah perokok (Kompas, 9/11/2007).

Situasi ini sungguh memprihatinkan, apalagi merokok merupakan pintu ke arah perilaku yang lebih berisiko, termasuk penyalahgunaan narkoba. Namun, yang menjadi pertanyaan sekarang adalah apakah kita sudah memberi solusi yang efektif?

Salah satu pendekatan yang umum ditawarkan untuk mencegah remaja mulai merokok atau menjadi pencandu serius adalah melalui komunikasi publik, seperti melalui penyebaran pesan-pesan tentang bahaya merokok atau kegiatan-kegiatan penyuluhan di sekolah. Pendekatan yang sifatnya lebih enforcement atau penerapan peraturan yang disertai sanksi sejauh ini menghadapi banyak kendala, di antaranya adalah kapasitas dan integritas sekolah untuk mengawasi seluruh gerak-gerik siswa dan tidak adanya panutan dari kelompok guru. Seperti diketahui luas, guru perokok bukanlah hal yang aneh di sekolah. Padahal, seperti kata pepatah lama, guru kencing berdiri, murid kencing berlari.

Sementara, di lingkungan luar sekolah kita juga menyaksikan implementasi peraturan yang (sudah diprediksikan) mandul, seperti Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2003 tentang Pengamanan Rokok bagi Kesehatan dan yang lebih baru, Perda DKI Jakarta No 2/2005 tentang Pengendalian Pencemaran Udara. Meski peraturan yang disebut terakhir berisi sanksi yang tegas, kenyataannya masih banyak ditemui warga yang dengan santai merokok di kendaraan umum atau tempat-tempat umum lainnya tanpa khawatir akan sangsi sampai Rp 50 juta seperti tertulis dalam perda.

Ego orang dewasa
Komunikasi publik kemudian menjadi andalan perubahan perilaku remaja, tetapi pendekatan itu rasanya belum banyak membuahkan hasil. Secara jujur harus diakui bahwa penyebab utama ketidakberhasilan komunikasi publik adalah justru paradigma kelompok orang dewasa sendiri yang cenderung egosentris dan menempatkan remaja sebagai obyek atau bahkan pesakitan.

Remaja selalu dianggap sebagai obyek yang dianggap tidak tahu atau tidak sadar akan bahaya rokok. Karena itu, mereka dipandang sebagai “khalayak yang perlu diberi tahu”. Di lain pihak, para penggiat kampanye antirokok, orang dewasa, diposisikan lebih tinggi, yakni sebagai mereka yang lebih tahu, ahli, berpengalaman, dan lain-lain. Padahal, para remaja perokok mungkin jauh lebih tahu tentang bahaya merokok daripada yang diperkirakan. Bukankah mereka lebih sering membaca peringatan pemerintah tentang bahaya merokok?

Diungkap dalam buku Erica Weinstraub Austin berjudul Reaching Young Audiences (1995), kesalahan umum dalam desain kampanye (bagi kelompok remaja) adalah mengasumsikan bahwa dengan mengangkat sebuah perilaku sebagai suatu yang buruk atau tidak sehat (di dalam pesan-pesan kampanye), maka remaja akan menolak perilaku itu.

Tipikal pesan kampanye antirokok adalah merokok merupakan perilaku yang sangat berbahaya bagi kesehatan karena itu jangan merokok. Dipaparkan bahwa merokok dapat menyebabkan impotensi, gangguan kehamilan, kanker, dan lain-lain. Namun, para remaja, seperti halnya orang dewasa, tentu tidak selalu memaknainya sesuai pesan yang tertulis.

Ketika para ahli kesehatan memandang merokok sebagai perilaku yang merusak kesehatan, banyak remaja (dengan bantuan komunikasi komersial industri rokok) mengartikannya secara positif, sebagai citra kekuatan, perilaku risk-taking yang jantan, dan sebagainya.

Mengutip McGuire (1989), dalam konteks remaja kita gagal mengenali sebagian daya tarik perilaku (buruk) yang justru bisa terletak pada “pelarangannya”.
Paradigma yang egosentris itu sebetulnya bersumber dari ketidakmauan dan atau ketidakmampuan orang dewasa mendengarkan suara remaja dan menganggap diri mereka lebih hebat. Nilai semacam ini sebetulnya banyak dijumpai dalam komunikasi kesehatan di medical era yang di banyak negara sudah ditinggalkan satu generasi lalu (Strategic Planning for Participatory Social and Behavior Change Communication in Public Health, JHU-CCP 2007).

Model komunikasi yang diandalkan dalam medical era adalah model linear SMR (sender medium receiver) di mana perubahan perilaku dipercaya merupakan hasil niscaya dari pengiriman pesan melalui medium tertentu yang sifatnya monolog (satu arah), semisal penyebaran poster atau kegiatan-kegiatan penyuluhan.

Beberapa dekade lalu model komunikasi perubahan perilaku berkembang menjadi lebih dialogis (field-era) di mana umpan balik khalayak dipercaya sebagai komponen penting untuk mengembangkan program yang efektif. Di sini, khalayak tidak lagi dianggap sebagai sasaran seperti benda mati yang tinggal ditembak oleh peluru ajaib. Khalayak menjadi lebih sebagai responden yang perlu diketahui dan diakomodasi reaksinya.

Partisipasi remaja
Namun, pengalaman implementasi program-program komunikasi akhirnya menyimpulkan bahwa dialog saja tidak cukup. Di dekade terakhir, model komunikasi yang terlihat membawa hasil yang lebih berkelanjutan adalah model yang lebih strategik-partisipatif. Tidak ada lagi batas yang tegas antara khalayak dengan pemrogram. Yang dipentingkan adalah kolaborasi yang egaliter. Duduk sama rendah, berdiri sama tinggi. Di sini, remaja menjadi warga yang memiliki posisi yang sama dengan orang dewasa penggiat antirokok. Mereka bersuara, mendapat hak untuk bersama-sama berpikir, bergerak mencegah ataupun mengubah perilaku merokok, dan juga menilai hasilnya.

Memahami suara remaja akan menghasilkan program dengan pendekatan yang berbeda. Contoh yang klasik dalam kampanye antirokok adalah Program Truth yang difasilitasi oleh The American Legacy Foundation (Sly, Heald & Ray 2001 di dalam Panduan Lapangan Merancang Strategi Komunikasi Kesehatan, JHU/CCP 2003). Alih-alih mengeksploitasi dampak rokok terhadap kesehatan remaja, Program Truth menguatkan identitas remaja sebagai pemberontak, pengambil risiko, atau orang yang mandiri yang tengah berkembang dalam diri remaja.

Dalam kampanye Truth, perusahaan tembakau dikuliti dan diperlihatkan sebagai penjahat yang menjual produk yang mereka sendiri sudah tahu bahayanya. Dengan mengungkap “kebenaran” tentang perusahaan rokok, kampanye memberi alasan yang kuat bagi orang muda yang tengah memiliki hasrat memberontak yang kuat untuk melakukan pemberontakan terhadap perusahaan rokok raksasa yang berusaha keras mencelakakan mereka.

Sly, Heald dan Ray (2001) melaporkan bahwa pendekatan Truth membawa hasil yang cukup menggembirakan. Negara Bagian Florida melaporkan bahwa kampanye ini menghasilkan angka kesadaran yang tinggi, perubahan signifikan dalam sikap atau kepercayaan dan menurunkan angka merokok di kalangan remaja.

Perubahan positif semacam itu tentu dibutuhkan Indonesia. Namun, kita harus mengembangkan sendiri program terbaik untuk menanggulangi masalah remaja dan merokok.

(Risang Rimbatmaja Volunter di Koalisi untuk Indonesia Sehat dan Forum Komunikasi Gizi dan Kesehatan)

Seputar Larangan Merokok…, Iklan Rokok Musuh Bersama

Sumber: http://www.kompas.com

Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Meutia Farida Hatta Swasono mengimbau masyarakat agar menjadikan iklan rokok sebagai musuh bersama karena berdampak pada kesehatan dan menyebabkan kematian. Tidak hanya itu, iklan rokok juga meningkatkan prevalensi perokok usia dini dan ini mengancam sumber daya manusia Indonesia pada masa mendatang.

“Kita tidak boleh toleran terhadap sponsorship industri rokok. Kita harus menyadarkan masyarakat dan mengubah pola pikir, bahwa merokok adalah proses pemiskinan. Jangan populerkan lagi pandangan agama bahwa merokok itu makruh, karena mudaratnya lebih banyak daripada manfaatnya,” kata Meutia ketika membuka workshop Perlindungan Anak dari Dampak Iklan, Promosi, dan Sponsor Rokok, yang diadakan Komisi Nasional Perlindungan Anak (KNPA), Senin (28/1) di Jakarta.

Menurut Meutia, Indonesia berada di urutan ke-5 di antara negara-negara dengan konsumsi tembakau tertinggi di dunia. Jumlah perokok aktif dewasa di Indonesia 34,4 persen dari total penduduk 234 juta jiwa. Perokok pada kelompok anak berumur 13-15 tahun pada 2007 mencapai 24,5 persen. Menurut dia, besarnya angka merokok ini diperparah dengan kecenderungan meningkatnya prevalensi perokok pemula di usia 5-9 tahun dari 0,4 persen (2001) menjadi 1,8 persen (2004).

“Survei menunjukkan 70,7 persen responden perokok anak dan remaja yang banyak menghabiskan waktu di luar rumah, terutama bersama teman sebaya,” katanya mengutip penelitian Laboratorium Kajian Pemberdayaan Masyarakat (LKPM) Universitas Andalas, Padang.

Meutia memaparkan hasil survei dari Rumah Sakit Jantung Harapan Kita, Jakarta, yang menunjukkan hampir 80 persen penderita jantung mempunyai kebiasaan jelek, yaitu merokok.

Dengan ledakan jumlah perokok pada usia anak dan remaja, dapat diprediksi pada masa akan datang penderita penyakit paru-paru akibat merokok, kanker, dan penyakit jantung adalah generasi berusia lebih muda. “Kondisi ini akan berpengaruh pada kualitas sumber daya manusia kita yang akan menentukan masa depan bangsa,” ujarnya.

Hal ini ironis, lanjut Menteri, karena Indonesia menjadi tempat buangan dan pemasaran rokok dari luar negeri, sebab sejumlah negara sudah melarang warganya merokok. Sementara biaya pengeluaran rumah tangga, terutama rumah tangga miskin, untuk merokok justru cenderung meningkat.

Ironis
Sekjen KNPA Arist Merdeka Sirait mengatakan, agresifnya iklan, promosi, dan kegiatan sponsor oleh industri rokok telah berkontribusi meningkatkan konsumsi tembakau oleh anak-anak dan remaja Indonesia. Ini menjerat remaja menjadi perokok pemula. Januari-Oktober 2007 ada 1.350 kali kegiatan diselenggarakan atau disponsori industri rokok—135 kegiatan per bulan.

Ironisnya, Indonesia adalah satu-satunya negara di Asia Tenggara yang belum meratifikasi Konvensi Internasional mengenai Pengendalian Tembakau. Indonesia tak punya UU pengendalian tembakau. Hanya ada PP No 19/2003 mengenai Pengamanan Rokok bagi Kesehatan, di mana industri rokok boleh beriklan di media elektronik, media cetak, dan media luar ruang.

Seputar Larangan Merokok…, Jika Dunia Tanpa Tembakau

Sumber: http://www.jurnalnasional.com

MEMBICARAKAN rokok memang tak ada habisnya. Hari ini, dunia kembali memperingati Hari Tanpa Tembakau yang dicanangkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) 20 tahun silam. Tujuannya, mengurangi angka kematian akibat racun rokok yang tiap tahun mencapai 3,5 juta jiwa di seluruh dunia.

Di Jakarta, Badan Pengelola Lingkungan Hidup (BPLHD) DKI Jakarta hari ini akan melangsungkan kampanye simpatik bertema “Lingkungan Bebas Asap Rokok” dan “Udara Bersih untuk Semua”. Rencananya, para peserta kampanye akan membagikan gelang karet bertuliskan “No Tobacco” kepada pejalan kaki dan meminta perokok di sekitar tempat acara untuk mematikan rokoknya sebagai tanda peringatan hari tanpa tembakau sedunia.

Akankah peringatan tahun ini menjadi tonggak gerakan masyarakat anti rokok di Jakarta? Sudah sekian tahun sejak Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memberlakukan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 2 Tahun 2005 tentang pengendalian pencemaran udara dan Peraturan Gubernur Nomor 75 Tahun 2005 tentang kawasan dilarang merokok. Peraturan terakhir menyebutkan, pelanggarnya, yakni orang-orang yang merokok di kawasan bebas rokok akan dikenakan hukuman kurungan selama-lamanya 6 bulan atau denda maksimal Rp 50 juta.

Namun masih ingatkah penduduk Jakarta pada kedua peraturan tersebut. Ataukah peraturan-peraturan itu sudah habis masa berlakunya? Perda larangan merokok di tempat umum memang masih berlaku di Jakarta tapi seperti mati suri karena tak dipedulikan warganya. Perda tersebut sama sekali tak menimbulkan efek takut bagi para perokok aktif dan tidak pula mengubah sikap permisif perokok pasif.

Dari pemantauan Jurnal Nasional, tak sulit menemukan warga yang merokok di sembarang tempat, bahkan di area bebas rokok seperti sekolah dan ruangan ber-ac. Di halte bus, di dalam angkutan umum, trotoar, restoran, kafe, para perokok bisa dengan leluasa mengepulkan asap. Tak peduli apakah di dekatnya ada ibu hamil atau anak-anak, karena toh para perokok pasif itu tak menunjukkan keberatan.

“Susah soalnya saya sudah kebiasaan merokok,” ujar Awang (34) saat menunggu bus di depan pasar Cempaka Putih, Jakarta Pusat. Awang menuturkan, dia tidak takut dengan perda larangan merokok karena dia belum pernah melihat orang yang didenda karena melanggar peraturan tersebut. Ketidakpedulian serupa juga diutarakan Adli (28). “Asap rokok gak terlalu berpengaruh kalau dibanding sama asap knalpot kendaraan.”

Sementara beberapa perokok lain yang diwawancarai tampak tidak antusias menanggapi perda tersebut. “Jualan rokok tetap laku,” ujar Imas, pemilik warung kaki lima di terminal Senen, Jakarta Pusat.

Pakar Sosiologi Perkotaan, Wardah Hafidz, mengatakan, perda larangan merokok tidak akan ada fungsinya jika tidak ada pengawasan dan penegakan hukum yang berarti dan tegas. Selama ini, menurutnya, Pemda mengeluarkan peraturan tanpa ada mekanisme penerapan yang sungguh-sungguh. Sehingga yang terjadi kemudian peraturan itu diabaikan. Namun ia juga menyesalkan sikap permisif masyarakat terhadap kebiasaan merokok di sembarang tempat.

Karena itu, ujarnya, perlu upaya yang lebih gencar untuk menyadarkan masyarakat bagaimana asap rokok mencemari udara dan bahayanya bagi kesehatan. “Perlu sosialisasi yang terus-menerus karena ini sudah menyangkut gaya hidup dan cara pikir masyarakat.”

Dia berpendapat, tak sedikit orang yang merokok sekadar untuk menunjukkan identitas diri. Misalnya, ada pemikiran bahwa laki-laki akan kelihatan lebih jantan kalau merokok. “Selain itu, masyarakat kita menganggap yang berbahaya adalah narkoba, sedangkan rokok tidak,” kata Wardah. Kalau memang sulit mengurangi jumlah perokok, ujar Wardah, setidaknya ada perlindungan bagi para perokok pasif.

Dia menambahkan, efektif tidaknya Perda Pengendalian Pencemaran Udara tergantung pada kesungguhan institusi yang secara langsung bertanggung jawab dalam pelaksanaannya (dalam hal ini BPLHD) atau di mana isu tersebut menjadi fokus kegiatannya (dalam hal ini Dinas Kesehatan).