Lokasi Pengunjung Blog

Kamis, 28 Mei 2009

Lho...?

Orang sudah banyak membaca peringatan mengenai bahayanya merokok, sehingga mereka memutuskan untuk..., berhenti "membaca"!!!.

Lho...?

Senin, 25 Mei 2009

KADUNG CINTA, APA MAU DIKATA…

Merokok itu gampang, bisa dilakukan bahkan oleh seorang bocah yang belum tamat SD. Tidak sulit, tidak perlu mikir, tinggal emut dan sulut, hisap dan hembus, bas-bus dan pas-pus. Simple, begitu saja. Pertama nyoba, mungkin mual dan pusing. Setelah dua tiga kali, yang terjadi bukannya kapok tapi malah nggatok. Dasar bocah!

Kita tidak bisa menyalahkan si bocah yang tergiur untuk mencoba. Siapa yang tidak ngiler ketika melihat bapak, pakde, paklik, pak guru, dan banyak orang lain di sekitarnya klepas-klepus merokok. Mereka menghisap rokok hingga merem-melek, terkesan nikmat sekaleee….

Jadilah kini, bocah kecil itu merokok. Sang bapak yang perokok berat tak berkutik. Paling pol Bapak hanya bisa pidato: ”Belum bisa cari duit, jangan merokok!” Bapak lupa kalau ada jatah uang jajan buat si bocah. “Oke Bos!” sahut si bocah seolah patuh, padahal di belakang hidung bapaknya dia asyik ngebul.

Begitulah, setiap detik dan setiap menit jutaan bocah perokok muncul di berbagai belahan dunia. Mereka bukan dilahirkan tapi dijadikan oleh lingkungan, oleh “keteladanan” para dewasa dan juga oleh pengaruh iklan rokok yang menggebu. Dan begitu seseorang mulai merokok, biasanya dia akan merokok untuk sepanjang hayatnya, akan sehidup semati bersama rokok. Kian waktu jumlah perokokpun kian bertambah.

Untuk soal tambah menambah ini Indonesia boleh dibilang juaranya. Laju pertumbuhan perokok pemula di Indonesia tercatat paling pesat sedunia, yakni 44% antara usia 10 – 19 tahun dan 37% usia 20 – 29 tahun. Permintaan rokok meningkat dari tahun ke tahun, dari 100 milyar batang pada tahun 1985 menjadi 220 milyar batang tahun 2005.

Merokok ternyata tidak hanya gampang, tapi juga enak tenan! Itu kata mereka yang hobi banget alias nggebis. Konon para penggebis mampu menghabiskan 30 hingga 40 batang rokok sehari. Percumalah menghimbau mereka untuk berhenti merokok. Walau ditatar dengan 1001 macam soal bahayanya tetap saja mereka merokok. Abis enak sih! Begitu alasannya tanpa penjabaran lebih jauh. Waton ngeyel memang, tapi ya seperti itulah sikap lebih dari 140 juta perokok Indonesia.

Soal mengapa sih kok orang merokok, Ernest Dichter seorang peneliti telah menelitinya pada tahun 1947. Dan kesimpulannya adalah:
-Smoking is as much a psychological pleasure as it is a physiological satisfaction.
-Salah seorang respondennya mengatakan : "It is not the taste that counts. It's that sense of satisfaction you get from a cigarette that you can't get from anything else."
-Penelitian lain menambahkan bahwa: Merokok is Fun, Is Reward, Is Oral Pleasure, Helps me think, Help us to relax, "With a Cigarette I Am Not Alone", "I Like to Watch the Smoke", "I Blow My Troubles Away", Obat stress, Sarana gaul dsb.

Di samping sisi yang enak2 itu ada juga sisi resiko merokok. Dari sudut kesehatan, bahaya rokok sudah sering dibahas. Katanya, dalam kepulan asap rokok terkandung 4.000 racun kimia berbahaya, dan 43 diantaranya bersifat karsinogenik (merangsang tumbuhnya kanker). Berbagai zat berbahaya itu, diantaranya adalah tar, karbon monoksida, dan nikotin.

Bahwa merokok itu beresiko, para perokok tahu. Tapi nampaknya sungguh enggan mereka untuk meninggalkan kebiasaan yang mengasyikan dan yang terlanjur melekat di keseharian. Yah…, kadung cinta, apa mau dikata. Abis merokok itu gampang dan..., enak siiihhh.

Gitu deh…

Minggu, 17 Mei 2009

SMOKING LADY...

Kamis, 14 Mei 2009

EROTISME JADUL…, PUNTUNG ROKOK RORO MENDUT


Roro Mendut nan jelita, merupakan salah satu tokoh dari sebuah kisah tragedi cinta yang melegenda di abad ke 17, pada awal berdirinya kerajaan Mataram. Di dalam salah satu fragmennya, ada kisah yang menarik tentang Roro Mendut dan rokok, tentang saat dimana Roro Mendut harus berjualan rokok.

Guna melariskan dagangan rokoknya, Roro Mendut menggelar live show, mempertontonkan aksinya saat mengisap rokok. Dia mengisap rokok sambil bibirnya “klamut klamut” dan matanya “merem melek”. Pembeli yang umumnya pria pun ngiler dan kesengsem dibuatnya. Dan puntung rokok alias rokok kuluman Roro Mendut pun jadi rebutan. Laris manizzz…

Ya, rupanya erotisme Roro Mendut ketika berjualan puntung rokok bekas kulumannya, telah menjadi daya tarik tersendiri….

Gitu deh…

Rabu, 13 Mei 2009

Merokok? Senyum doooong!

Kata mutiara atau mutiara kata ada bertebaran di mana2. Semuanya merupakan kata2 hasil renungan yang mendalam menyangkut kehidupan, pengalaman hidup. Jadi boleh dong kita simak. Dan inilah satu di antaranya.

SENYUM DOOONG!
Seseorang bilang: “Sebuah senyuman akan menambahkan sepuluh tahun lagi kehidupan.”
Orang lain bilang: “Sebatang rokok akan mempersingkat lima menit kehidupan.”

Kita bilang: “Merokok? Senyum doooong!”

Gitu deh...

Senin, 11 Mei 2009

Rokok Peyot..., ogah dong ah


Ini poster anti rokok. Maksudnya sih kesampaian, bikin orang ogah merokok.

Lha hiya lah, siapa yang mau merokok rokok peyot kayak gitu. Kalau mau ngrokok, orang milih rokok yang masih mulus en segar dong, bukan yang peyot en kempot.

Gitu deh...

Bukan gambar porno


Jangan bilang ini gambar porno. Ini gambar poster anti rokok. Pesannya agak kurang jelas sih, tapi kira2 gambar itu bilang gini: Rokok merokok...,No Way! Tapi kalau rokok "dirokok"..., Yes lah yauw.

Piye Jal?

Indonesia…, Smoking Area


Indonesia…, Smoking Area. Ya, itulah julukan yang kayaknya pas buat negeri ini, di saat ini. Julukan itu terlintas begitu saja di benak setelah saya selesai membaca artikel yang dibuat oleh teman2 di label Seputar Larangan Merokok. (Silahkan periksa artikelnya di halaman2 bawah).

Sebagai smoking area, maka pantaslah kalau segala bentuk larangan dan himbauan untuk “no smoking” kemudian tidak digubris…, oleh siapapun. (Kalaupun menggubris, itu sekedar basa basi lantaran “kagak enak ame tetangge”).

Masyarakat bukannya tidak mengerti bahwa rokok dan merokok itu tidak sehat, masyarakat sangat tahu akan hal itu. Tapi boleh jadi mereka berpikir, apa salahnya menikmati rokok, menikmati kesenangan kecil, ditengah kehidupan yang sangat getir ini. Ya, sekarang kehidupan memang masih serba sulit dan getir. Ini tak bisa disangkal.

Oleh karena itu prioritas menyehatkan bangsa bukanlah pada mengenyahkan rokok yang “pait ning karem” itu, melainkan harus kepada upaya bagaimana mengenyahkan kegetirannya; kegetiran yang masih saja menyelimuti kehidupan masyarakat dan yang yang sungguh menyesakkan dada.

Ketidak adilan, kesewenang wenangan, pemerasan, penindasan, sikap feodal, korupsi dsb., adalah kegetiran yang mematikan. Itu semua jauh lebih beracun, berbahaya dan “nggilani” daripada sekedar rokok.

Pada saatnya nanti rokok tentu akan mendapat giliran diurus. Tapi itu nanti...

Gitu deh...

Minggu, 10 Mei 2009

Lho Kok Sewot?


Kagak tahu deh alasannya mengapa nyonya itu sewot dan pengin ngguyur sang suami. Apa lantaran suami hobinya main golf ya? Terus di rumah sering merokok sambil melamun membayangkan saat "hole in one" sama si caddy... He he...
Piye Jal?

Rokok..., umpan tikus?


Mana mau tikus dijebak pakai umpan rokok. Pakai dendeng lha..., itu baru betul.
Piye Jal?

Pistol Mainan..., siapa takut?


Weh, siapa yang takut sama pistol mainan kayak gitu. Mana pelurunya? Kok rokok malah buat mainan. Sayang khan rokoknya. Rokok mahal lho.... He he...

The Shadow..., sang kancil


Tangan megang rokok itu mestinya bukan jadi bayangan gambar pistol, tapi lebih pas kalau menjadi gambar..., kancil. Ya betul, cocoknya jadi gambar bayangan "kancil nyolong rokok", dan jempol yang mengacung itu bakal jadi kuping sang kancil.
Piye Jal?

Smoking Period..., siapa monyet


Ini gambar bikin kita bingung. Apakah menggambarkan periode kemunduran jaman bagi rokok, ataukah melukiskan bahwa kalau ingin jadi manusia seutuhnya, maka rokok itu harus disulut dan dirokok sampai tinggal puntung? Kalau tidak dirokok, kita akan tetap berada di posisi monyet yang di ujung rokok itu.
Piye Jal?

Disulut..., Kagak Dirokok?


Lho kok disulut tapi kagak dirokok?
Piye Jal?

Smoking Is Beautiful..., Street Art

Smoking Is Beautiful..., smoking


Artist's Comments
New model: Lucy ... 1st session ... she is a singer and wanted some portraits and original pictures for her Book, Flyers and may be a CD cover ...

This picture is one of the last of the session and it's a lucky shot ... taken in 2 sec, we tried to do some more but this is the best ...
I find this one Strange and Strong ...

Smoking______by_philcopain

Jumat, 08 Mei 2009

Seputar Larangan Merokok…, Rokok Haram Kagak Sih?

Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jambi menilai belum saatnya merokok difatwakan haram, seperti yang sedang dikaji dan direncanaka oleh MUI pusat.

Ia mengatakan secara tegas dalam Al Quran memang tidak disebutkan merokok itu haram, namun dinyatakan segala sesuatu yang dapat merusak kesehatan dinyatakan haram. "Apa pun bentuk kegiatan, makanan dan minuman, bila dampak buruknya lebih besar dari pada manfaat baiknya dinyatakan haram," kata Ketua MUI Jambi Sulaiman Abdullah di Jambi, Kamis (14/8).

Masalah rokok jadi bahan pertentangan, karena ada sebagian orang yang mengisapnya merokok dapat membangkitkan inspirasi dan menyegarkan pikiran, namun ada pula sumber penyakit bagi orang yang tidak menyukainya.

Menurutnya, kategori haram juga bisa diberikan pada jenis minuman, seperti kopi dan teh, karena keduanya mengandung zat berbahaya bila dikonsumsi secara berlebihan. Namun bila kedua jenis minuman itu dikonsumsi sekadarnya atau sesuai aturan medis, justru lebih baik, termasuk rokok dan lainnya, karena memberikan manfaat bagi pemakainya.

Jadi, haram tidaknya rokok tersebut, lebih baik dikembalikan pada orang pengisapnya, jika itu sumber inspirasi dan pembuka pikirannya tidak diharamkan, namun bila memperparah penyakitnya, seperti paru-paru, batuk dan lainnya, maka rokok itu akan menjadi haram.

Dalam keterangan terpisah, Bustanudin, tokoh agama di Kelurahan Jelutung Kota Jambi mengatakan, fatwa haram untuk rokok yang akan di dikeluarkan MUI pusat perlu dikaji lebih dalam. Alim ulama dan Kiai juga banyak yang merokok, bila itu difatwakan haram, dikhwatirkan orang yang menjadi penuntun ilmu agama itu akan dilecehken oleh pengikut atau muridnya, karena dia sendiri sulit menghilangkan kebiasaan merokok.

Sumber: KOMPAS.COM

Kamis, 07 Mei 2009

Seputar Larangan Merokok…, Sisi Gelap Dunia Rokok

Oleh: Faisal Motik
http://www.republika.co.id

Dilematis. Ini mungkin kata yang paling tepat untuk menggambarkan masalah merokok bagi Indonesia yang tengah terpuruk dalam bidang sosial ekonomi. Negara sebagai pengambil kebijakan seolah-olah dalam posisi maju kena mundur kena.

Tongkat Dewi Peri
Dalam dunia rokok, banyak logika yang terbalik-balik. Misalnya, ada mitos yang berkembang di masyarakat bahwa riset tentang dampak rokok terhadap kesehatan belum tuntas. Padahal faktanya, lebih dari 70 ribu artikel ilmiah telah membuktikan secara tuntas bahwa konsumsi rokok dan paparan terhadap asap rokok berbahaya bagi kesehatan. Mitos lain, pandangan sebagian masyarakat bahwa larangan merokok di tempat umum melanggar hak asasi seseorang. Padahal yang benar, justru merokok di tempat umum itulah yang melanggar hak orang lain untuk menikmati udara bersih, juga hak untuk tak diganggu asap rokok yang beracun.

Rokok tak ubahnya si Dewi Peri yang bisa mengibaskan tongkat ajaibnya dan mengubah cara pandang manusia. Lihat saja, pemerintah Indonesia hingga kini masih memandang bahwa industri rokok memainkan peran penting dalam perekonomian. Cara pandang pemerintah itu memang benar, jika yang dilihat hanyalah hasil jangka pendek. Cukai industri rokok menyumbang 5 persen dari total APBN dalam setahun. Bahkan pemerintah pernah menyanjung industri rokok, karena mereka meberikan suntikan cukai dan pajak sebesar Rp 50 triliun pada 2006 (artikel Tulus Abadi, Koran Tempo, 9 April 2007).

Dengan cara pandang myopik (tanpa melihat jauh), industri rokok di Indonesia memang menguntungkan secara ekonomis bagi sekitar 11 juta orang yang terlibat dalam industri rokok secara langsung maupun tak langsung. Namun kalau pemerintah memakai cara pandang yang komprehensif dan holistik, akan terlihat betapa keuntungan jangka pendek itu mengakibatkan dampak sosial, ekonomi, dan kesehatan yang jauh lebih mahal.

Indonesian Tobacco Control Network dalam blog-nya menyebut bahwa dana yang diperlukan untuk mengatasi dampak rokok per tahun Rp 81 triliun. Lalu Hakim Sorimuda Pohan, anggota Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat, pernah menyebutkan bahwa biaya kesehatan yang terkait dengan masalah merokok mencapai Rp 14,5 triliun per tahun (Koran Tempo, 14 Maret 2007).

Juga Tulus Abadi dalam artikel yang sama, mengutip Dr Soewarta Kosen (An Economic Analysis of Tobacco Use in Indonesia, National Institute of Health Research & Development, 2004), menyebutkan bahwa pada periode 2001, total biaya konsumsi tembakau Rp 127,4 triliun. Jumlah itu digunakan untuk belanja tembakau, biaya pengobatan sakit akibat mengonsumsi tembakau, kecacatan, dan kematian dini. Angka tersebut setara dengan 7,5 kali lipat penerimaan cukai tembakau tahun yang sama, yaitu Rp 16,5 triliun.

Di luar itu, masih ada ongkos sosial, ekonomi, moral dan budaya yang belum dihitung. Menurut analisis Soewarta Kosen (ahli ekonomi kesehatan Litbang Departemen Kesehatan), total tahun produktif yang hilang karena penyakit yang terkait dengan tembakau di Indonesia pada 2005 adalah 5.411.904 disability adjusted life year (DALYs). Jika dihitung dengan pendapatan per kapita per tahun pada 2005 sebesar 900 dolar AS, total biaya yang hilang 4.870.713.600 dolar AS. Lalu pada periode 2001, jumlah kematian yang berhubungan dengan konsumsi tembakau mencapai 427.948 jiwa atau merupakan 22,5 persen dari total kematian di Indonesia.

Rokok dan Kemiskinan
Yang lebih menyayat hati adalah hasil penelitian Indonesian Forum on Parliamentarians for Population and Development (IFPPD) yang menghitung simulasi belanja pada keluarga miskin. Menurut survey BPS dua dari tiga ayah di Indonesia adalah perokok. Berdasar data itu, forum tersebut mencatat bahwa 12 juta ayah dari keluarga miskin adalah perokok. Mereka membelanjakan Rp 23 triliun setiap tahun untuk rokok.

Kaitan antara rokok dan kemiskinan pun tidak hanya terjadi di Indonesia, tapi juga di berbagai belahan dunia. Penelitian di Bangladesh yang berjudul hungry for Tobacco pada 2000 menunjukan bahwa tak pernah ada kata terlalu miskin untuk merokok. Sifat adiktif rokok membuat banyak orang melupakan prioritas. Kecanduan merokok susah dilepaskan, meskipun kondisi keuangan tak menguntungkan.

Wajah buruk dari dampak rokok dan industri rokok tidak terasakan. Mengapa demikian? Hal ini sangat dapat dimaklumi karena menurut survei AC Nielsen, kue iklan dari industri rokok pada tahun 2006 ini bernilai Rp 1,6 triliun. Uang sebesar ini bila dipakai untuk membeli rumah yang senilai Rp 50 juta bisa dapat 32 miliar unit rumah. Bayangkan bila uang itu disalurkan untuk subsidi perumahan rakyat, niscaya tak ada orang Indonesia yang menjadi gelandangan.

Namun kalangan industri rokok toh memilih menyalurkan uang senilai ‘32 miliar unit rumah’ itu untuk belanja iklan. Maklum, iklan melalui berbagai media, diyakini bisa ikut menggembirakan dunia rokok di kalangan masyarakat. Iklan rokok diyakini masih menjadi sarana yang efektif untuk menciptakan asmosfer psikologis masyarakat yang ramah pada rokok. Bahkan, iklan diyakini bisa menjadi faktor magis untuk membuai masyarakat pada kegemaran merokok. Dengan dana yang besar, kalangan industri rokok menyewa biro-biro periklanan yang cerdas dan piawai. Iklan-iklan rokok tersebut bisa dikatakan relatif sangat berhasil secara kualitatif.

Di luar negeri, contoh iklan rokok yang sukses adalah iklan Marlboro. Rokok produksi perusahaan Philip Morris ini pada 1954 pernah membuat iklan dengan ikon koboi gagah yang merokok di alam bebas. Konsep iklan itu sebetulnya untuk mempopulerkan sigaret filter, yang waktu itu masih dianggap feminin. Iklan Mallboro ini disebut-sebut sebagai salah satu dari iklan yang paling brilian sepanjang sejarah. Hanya dalam waktu sebulan, iklan itu mengubah citra rokok sigaret filter dari feminin ke maskulin. Dan dalam waktu delapan bulan sejak iklan Marlboro Man pertama kali diluncurkan, penjualan rokoknya meningkat 5.000 persen. Namun kesuksesan iklan tersebut menyimpan kisah ironis. Wayne McLaren dan David McLean, dua bintang iklan Mallboro, diberitakan meninggal dunia karena kanker paru-paru.

Beberapa kolega penulis yang meraih gelar doktor dalam bidang kimia, pernah menyampaikan bahwa dalam sejarah negeri kita dijajah oleh bangsa Eropa (Belanda), karena kita kaya dengan rempah-rempah. Salah satu primadonanya adalah cengkih dan tembakau.

Dari pengamatan dan penelitian para ahli, paling tidak ada 12 produk yang nilai dagangnya miliaran per tahun yang berbahan utama cengkeh, untuk berbagai keperluan baik pengobatan, kosmetik dan sebagainya. Ironisnya, produk itu sejak kita merdeka sampai sekarang tidak diproduksi oleh bangsa ini, kecuali sebagian kecil saja. Itupun lebih kepada keperluan lokal. Penulis berpikir untuk mengimbangi kekuatan perusahaan raksasa yang telah memproduksi barang-barang yang bernilai tinggi ini dibutuhkan pengusaha yang juga bermodal besar. Untuk ini alangkah baiknya bila perusahaan-perusahaan rokok di Indonesia diberi insentif untuk mulai mengubah orientasi produknya atau paling tidak mulai meluaskan produknya.

Ikhtisar
- Sepintas, industri rokok memberi keuntungan besar bagi Indonesia, karena itu pemerintah pun pernah memujinya.
- Dalam pandangan yang lebih holistik, kebiasaan merokok telah membuat orang-orang miskin makin tertekan.
- Jika dikonversi untuk membeli rumah, belanja iklan industri rokok bisa untuk menghapus kemiskinan di negeri ini.

(Faizal Motik, Pendiri dan Ketua Umum Masyarakat Indonesia Tanpa Rokok)

Seputar Larangan Merokok…, Remaja, Sasaran Empuk Industri Rokok

Sekelompok remaja berseragam sekolah duduk-duduk di ujung jalan. Bersenda gurau dan asyik berbagi cerita, sesekali mengisap sebatang rokok yang terjepit di jari tangan kanannya. Lelap mereka dalam perbincangan seru seraya mengepulkan asap rokok.

Ini bukan lagi pemandangan yang jarang terlihat, bahkan pemandangan itu sudah dianggap biasa oleh sebagian besar penduduk Jakarta. Pahit dan menyedihkan, asap rokok itu sudah merasuk ke paru-paru kalangan remaja Indonesia.

Kenyataannya, berdasarkan survei yang dilakukan Global Youth Tobacco Survey (GYTS) Indonesia tahun 2006 yang dilakukan terhadap remaja berusia 13-15 tahun, sebanyak 24,5 persen remaja laki-laki dan 2,3 persen remaja perempuan merupakan perokok, 3,2 persen di antaranya sudah kecanduan. Bahkan, yang lebih mengkhawatirkan, 3 dari 10 pelajar mencoba merokok sejak mereka di bawah usia 10 tahun.

Apa yang salah dengan anak-anak dan remaja Indonesia? Mereka memang menjadi sasaran empuk bagi industri rokok. Ketua Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia Widyastuti Soerojo pada lokakarya "Understanding Tobacco Industry Through Their Own Top Secret Documents", Selasa (6/11) di Jakarta, mengatakan, industri rokok memanfaatkan karakteristik remaja, ketidaktahuan konsumen, dan ketidakberdayaan mereka yang sudah kecanduan merokok.

Mengutip dokumen "Perokok Remaja: Strategi dan Peluang", RJ Reynolds Tobacco Company Memo Internal, 29 Februari 1984, yang dipresentasikan anggota Komisi Nasional Perlindungan Anak, Dina Kania, dikatakan, perokok remaja telah menjadi faktor penting dalam perkembangan setiap industri rokok dalam 50 tahun terakhir karena mereka adalah satu-satunya sumber perokok pengganti. Jika para remaja tidak merokok, industri akan bangkrut sebagaimana sebuah masyarakat yang tidak melahirkan generasi penerus akan punah.

Kebebasan dan berontak

Karakteristik remaja yang erat dengan keinginan adanya kebebasan, independensi, dan berontak dari norma-norma dimanfaatkan para pelaku industri rokok dengan memunculkan slogan-slogan promosi yang mudah tertangkap mata dan telinga serta menantang.

Menurut riset yang dilakukan Badan Pengawas Obat dan Makanan tahun 2006, sebanyak 9.230 iklan terdapat di televisi, 1.780 iklan di media cetak, dan 3.239 iklan di media luar ruang, seperti umbul-umbul, papan reklame, dan baliho.

Dengan gencarnya iklan yang dilakukan oleh industri rokok, berdasarkan GYTS Indonesia tahun 2006, sebanyak 92,9 persen anak-anak terekspos dengan iklan yang berada di papan reklame dan 82,8 persen terekspos iklan yang berada di majalah dan koran.

Slogan-slogan ini tidak hanya gencar dipublikasikan melalui berbagai iklan di media elektronik, cetak, dan luar ruang, tetapi industri rokok pada saat ini sudah masuk pada tahap pemberi sponsor setiap event anak muda, seperti konser musik dan olahraga.

Hampir setiap konser musik dan event olahraga di Indonesia disponsori oleh industri rokok. Dalam event tersebut mereka bahkan membagikan rokok gratis atau mudah mendapatkannya dengan menukarkan potongan tiket masuk acara tersebut.

Kedekatan remaja dengan rokok tidak hanya dikarenakan gencarnya iklan rokok di media, tetapi mulai dari lingkungan terkecilnya (keluarga). "Tahun 2004 hampir tiga perempat dari rumah tangga di Indonesia memiliki anggaran belanja rokok, artinya minimal ada satu perokok di dalam rumah," ujar Widyastuti. Ia menambahkan, setidaknya 64 persen remaja berusia 13-15 tahun terpapar asap rokok di dalam rumah.

Bahaya merokok

Jumlah konsumsi rokok di Indonesia, menurut the Tobacco Atlas 2002, menempati posisi kelima tertinggi di dunia, yaitu sebesar 215 miliar batang. Mengikuti China sebanyak 1,634 triliun batang, Amerika Serikat sebanyak 451 miliar batang, Jepang sebanyak 328 miliar batang, dan Rusia sebanyak 258 miliar batang.

Tidak seharusnya kita bangga dengan "prestasi" yang kita miliki karena di balik itu serentetan penyakit yang berujung kematian menghantui. Dalam satu kandungan sebatang rokok setidaknya terdapat 4.000 zat kimia dan 43 zat karsinogenik, dengan 40 persennya beracun seperti hidrokarbon, karbon monoksida, logam berat, tar, dan nikotin yang berefek candu.

Setiap tahunnya angka kematian di dunia mencapai lima juta orang diakibatkan berbagai penyakit yang disebabkan rokok, seperti kanker paru-paru dan penyakit jantung.

"Berdasarkan survei WHO, kematian pada 2030 mencapai 10 juta orang," ujar Direktur Pengendalian Penyakit Direktorat Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan Tjandra Yoga Aditama.

Di Indonesia, menurut Demografi Universitas Indonesia, sebanyak 427.948 orang meninggal di Indonesia rata-rata per tahunnya akibat berbagai penyakit yang disebabkan rokok.

Pencegahan

Adanya Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2003 tentang Pengamanan Rokok bagi Kesehatan dipandang tidak cukup efektif baik dalam mencegah maupun menanggulangi bahaya merokok. Alasannya, dalam undang-undang itu tidak ada ketentuan bagi industri rokok untuk membatasi kadar nikotin dan tar dalam rokoknya.

Padahal, pembatasan itu sempat dilakukan di Peraturan Pemerintah No 81/1999 tentang Pengamanan Rokok bagi Kesehatan yang direvisi atas desakan petani tembakau dan industri rokok.

"Satu-satunya alat yang efektif adalah undang-undang. Mengapa bisa efektif karena minimal ini bisa menjawab alasan industri yang mempertanyakan undang-undang yang mengaturnya. Jadi, undang-undang sangat penting," ujar Widyastuti.

Ia mencontohkan, salah satu produsen rokok yang dimintanya untuk melampirkan peringatan kesehatan dengan menggunakan gambar (visual), seperti di Thailand, menolak dengan alasan tidak ada undang-undang yang mengaturnya.

"Pengendalian dampak tembakau tidak berarti akan menurunkan pendapatan negara, justru sangat diharapkan agar pemerintah menaikkan harga dan cukai setinggi-tingginya untuk meningkatkan pendapatan negara. Kebijakan ini sekaligus dapat menurunkan konsumsi rokok walaupun tidak serta merta karena rokok adalah adiktif, minimal mencegah semakin banyak jatuhnya korban perokok remaja," ujar Widyastuti merujuk pada harga jual rokok di Indonesia yang hanya Rp 9.000 jauh lebih rendah dibandingkan dengan di Singapura seharga 11 dollar Singapura (Rp 66.000).

Berbeda dengan Widyastuti, pakar sosiologi Imam Prasodjo yang bertindak sebagai moderator di lokakarya itu justru mengedepankan pentingnya pendekatan melalui keluarga. "Mungkin ibu-ibu yang bisa menjadi solusinya karena mereka pasti ingin melindungi anak-anaknya dari bahaya rokok, bisa dilakukan pendekatan dengan memberi tahu bahayanya," ujarnya.

Disadari atau tidak, remaja di Indonesia sudah tereksploitasi oleh industri rokok, menjadi pangsa pasar terempuk untuk menggantikan banyak kematian pelanggan setia mereka.

Sumber: Kompas

Seputar Larangan Merokok…, Petani Tembakau Tak Takut

Oleh : Rahmi

Petani tembakau tak risau jika kelak Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan fatwa larangan merokok. Menurut Sekretaris Jenderal Asosiasi Petani Tembakau Indonesia, Abdus Setiawan, permintaan tembakau dalam sepuluh tahun terakhir selalu stabil. “Tidak naik ataupun turun,” kata Abdus, Kamis (14/08).

Larangan merokok, katanya, nyaris tak mempengaruhi industri rokok dan petani tembakau. Kampanye antirokok tidak cuma dikumandangkan saat ini saja. Sejak kecil sampai berusia 52 tahun, larangan merokok hampir tak pernah berhenti. “Tapi, pabrik rokok tetap produksi. Petani terus menanam tembakau,” ujar Abdus.

Menurutnya, kampanye antirokok bukan ancaman bagi petani. “Sebab kami menanam tembakau kalau ada permintaan dari industri rokok,” katanya. Petani tembakau juga sangat spesifik, hanya mereka yang punya lahan kering.

“Artinya tidak semua petani menanam tembakau. Kalau ada penurunan permintaan, hanya petani tembakau saja yang sawahnya sering kekeringan,” katanya.

Abdus setuju larangan merokok terus dikampanyekan, terutama kepada anak-anak. Caranya, gencarkan antirokok di sekolah, di tempat mangkal kaum muda, dan membangun kesadaran dampak buruk kepada semua kalangan. “Perokok itu hanya bergulir. Ada yang baru memulai, ada yang insyaf berhenti merokok,” tuturnya.

Majelis Ulama Indonesia akan mengeluarkan fatwa tentang larangan merokok. Anggota Komisi Fatwa MUI Ali Mustafa Yakub mengatakan, fatwa itu akan dibahas terlebih dahulu dalam musyawarah Komisi Fatwa MUI se-Indonesia. Waktunya setelah Ramadhan. Rencana ini sehubungan dengan desakan sejumlah kalangan, seperti Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia.

Selama ini MUI belum pernah mengeluarkan fatwa tentang merokok. Sebuah fatwa biasanya melalui proses permintaan atau pertanyaan dari masyarakat. Fatwa itu kemudian menjadi jawaban atas pertanyaan tersebut. Menurut Ali, masyarakat sebenarnya tak perlu menunggu fatwa dari MUI untuk berhenti merokok.

Ali menambahkan, agar para ulama mewaspadai lobi-lobi yang dilakukan industri rokok yang memanfaatkan para ulama untuk mengkampanyekan rokok kepada umatnya. Industri rokok ada yang menyuplai kebutuhan hidup seorang tokoh agama agar dalam ceramahnya meminta santrinya merokok.

Haram atau halalnya rokok, memang masih menjadi kontroversi dikalangan ulama. Namun berdasarkan survei, 93,9 persen remaja melihat iklan rokok, sebanyak 88,7 persen melihat iklan rokok di televisi, dan 93 persen melihat iklan rokok selama acara remaja dan olahraga. Indonesia merupakan satu-satunya negara di Asia yang belum merespons konfensi pengawasan atas peredaran rokok.

Seputar Larangan Merokok…, Pelanggaran Hak Asasi Manusia.

Oleh: Jane Pietra

Pelanggaran terhadap hak asasi manusia ternyata banyak macam dan bentuknya. Mulai dari pemaksaan beribadat, perpindahan agama, aborsi, sampai yang baru-baru ini menjadi perdebatan. MEROKOK.

Sejak tahun 2006 sudah beredar sebuah peraturan daerah yang MELARANG warganya untuk MEROKOK di tempat umum, dan bagi mereka yang MELANGGAR akan di kenakan sanksi kurungan selama 6 bulan. Namun selama ini perda tersebut dinilai TIDAK EFEKTIF. Karena ketidak efekifan tersebut Pemprov DKI Jakarta merevisi ulang perda tersebut, dengan mengurangi lama hukuman. Dari 6 bulan menjadi 3 bulan saja, dengan alasan agar dapat ditindak oleh Pegawai Negeri Sipil (detikcom).

Perda No.2/2005 tentang larangan merokok ditempat umum berlaku secara efektif mulai 6 April 2006. Dalam peraturan tersebut dicantumkan tempat-tempat yang menjadi daerah bebas rokok, diantaranya adalah pusat perbelanjaan, sarana kesehatan, tempat kerja (kantor), tempat yang secara spesifik sebagai tempat proses belajar mengajar, arena kegiatan anak, tempat ibadah dan angkutan umum. Selain itu akan terdapat ruangan khusus untuk merokok di setiap tempat-tempat yang tercantum dalam peraturan tersebut. Namun dalam pelaksanaannya semua tempat itu masih belum menjadi daerah yang bebas rokok. Memang sudah ada beberapa pusat perbelanjaan yang menyediakan ruangan khusus untuk merokok, tapi tetap banyak saja perokok yang tidak menggunakan tempat tersebut, dikarenakan “ENGGAN”. Saya tidak tahu pasti kata “enggan” yang dimaksud adalah enggan yang sebenarnya karena masih belum terbiasa atau memang karena MALAS DAN TIDAK MAU REPOT.

Lalu apa hubungannya dengan pelanggaran hak asasi manusia? Apa yang menyebabkan merokok dapat melanggar hak asasi manusia?

Hubungannya terletak pada pencemaran udara yang sehari-hari kita hirup. Seseorang mempunyai hak untuk hidup, itu hukumnya. Untuk hidup manusia sangat butuh udara yang bersih dan segar setiap detiknya. Jika udara yang kita hirup itu tercemar oleh asap rokok, maka yang akan kita hirup adalah racun-racun yang keluar dari sistem pernafasan sang perokok serta racun dari rokok itu sendiri. Bukan hanya racun yang mengganggu, tapi juga bau tak sedap dari asap rokok tersebut. Pelanggaran hak asasi manusia besar-besaran menurut saya, karena kita tidak lagi bisa menghirup udara yang bersih. Ketika ada seseorang atau dua orang yang merokok dan berdiri atau duduk di dekat Anda ketika menunggu, katakanlah, kereta api ekonomi tujuan Bogor, pasti Anda akan merasa risih (kecuali jika Anda seorang perokok juga). Rasanya tidak enak saja ketika Anda menarik nafas, yang Anda cium adalah bau asap rokok. Apalagi ketika Anda telah naik di keretanya, ada orang yang merokok di dekat pintu gerbong kereta. Angin yang bertiup masuk ke dalam gerbong kereta api tentu akan membawa serta asap rokok yang dihembuskan oleh perokok tadi, sehingga dapat di pastikan penumpang lainlah yang kena imbas asap rokoknya.

Merokok merupakan hak asasi manusia, karena setiap manusia berhak memilih apa yang mereka inginkan bagi diri mereka, namun di sisi lain menghirup udara segar juga menjadi hak manusia. Jadi apa salahnya, jika Anda seorang perokok hendaknya tidak merokok di tempat-tempat umum seperti kendaraan umum, kantin, stasiun, dan tempat-tempat yang telah di cantumkan dalam perda No.2/2005 tersebut. Meskipun di tempat Anda biasa merokok belum disediakan tempat khusus untuk merokok, lebih baik jika Anda merokok di tempat yang tidak ada orang atau jika Anda masih “NGEBET” untuk merokok lebih baik meminta izin kepada orang yang ada di dekat Anda. Mungkin Anda akan menerima tatapan aneh dari orang-orang tersebut dan sesuai dengan kebudayaan orang Indonesia pada umumnya, mereka akan cenderung memberi izin karena takut untuk berkata TIDAK!!

Jadi, mulailah untuk BERFIKIR dulu sebelum Anda merokok. Apakah pada saat itu Anda akan melakukan pelanggaran hak asasi manusia? kemudian yang penting untuk diingat adalah BACA TANDA PERINGATAN LARANGAN MEROKOK yang ada. Karena meskipun hanya lulusan SD, saya yakin Anda semua bisa melihat tanda yang ada. Apalagi jika Anda berpendidikan tinggi, pasti Anda bisa MEMBACA tanda tersebut dengan jelas.

Seputar Larangan Merokok…, NU Tetap Anggap Merokok Makruh

Sumber: Republika Newsroom

Nahdlatul Ulama tak serta merta mengikuti fatwa Majelis Ulama Indonesia yang mengharamkan konsumsi rokok. Fatwa larangan merokok itu dinilai akan sulit diterapkan mengingat batasan usia bagi anak-anak dan remaja sangat sulit dibuat.

Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Hasyim Muzadi menyatakan sejak dulu NU selalu menganggap rokok ini makruh. Ormas Islam terbesar di tanah air ini tak sampai menganggap rokoh haram lantaran mengandung relatifitas bagi pemakai dan bahayanya. ''Makruh artinya seyogyanya dihindari,'' ujarnya di Jakarta, Senin (26/1).

Hasyim menjelaskan rokok bersifat relatif lantaran bahaya terhadap pemakainya berbeda-beda. Menurutnya, ada orang yang kuat terhadap rokok namun ada pula yang lemah. Berbeda dengan minuman keras yang dampaknya bisa dipastikan berbahaya bagi pemakainya.

Dia menyontohkan ada orang yang harus merokok dahulu bila ingin menulis dengan baik. Namun bagi penderita TBC, rokok ini jelas dilarang. ''Jadi ada relativitas pada perokok dan bahayanya, relativitas inilah yang oleh NU diberi hukum makruh,'' tegasnya.

Hasyim tak hadir pada pertemuan MUI di Sumatera Barat yang memutuskan fatwa itu. Dia mempersilahkan saja MUI mengeluarkan fatwa ini. Namun dia khawatir fatwa itu tak bisa berjalan efektif terutama untuk larangan bagi anak-anak dan remaja mengingat fatwa tersebut tak memberikan batasan usia yang tegas. ''Silahkan MUI begitu, tapi NU tetap makruh,'' pungkasnya.

Seputar Larangan Merokok…, Merokok Sudah Jadi Gaya Hidup di Sekolah

Oleh: Marjohan M.Pd

Ada beberapa undang-undang atau peraturan yang tidak tertulis di sekolah, sudah disepakati dan diketahui oleh orangtua, anak didik, pendidik (guru) dan masyarakat. Peraturan-peraturan tersebut kalau dirunut dari skala larangan paling berat sampai kepada larangan ringan adalah seperti: tidak boleh melakukan pergaulan bebas, narkoba, minuman keras (miras), berjudi, pornografi, pornoaksi, merokok, memakai perhiasan berlebihan, berambut panjang, memakai seragam sekolah yang tidak pantas, sampai kepada mencontek selama ujian. Dan larangan ringan terbaru adalah tidak boleh membawa handphone ke sekolah karena bisa mengganggu PBM- proses belajar mengajar.

Mengkonsumsi rokok adalah dilarang di sekolah. Ini sudah diketahui oleh semua anak didik, guru dan orangtua siswa. Namun fenomena di negara kita dan juga fenomena di lingkungan sekolah bahwa hukum atau peraturan hanya untuk dipatuhi oleh kalangan bawah, kalau di sekolah adalah untuk anak didik. Seperti larangan merokok, ini hanya berlaku dan harus dipatuhi oleh anak didik. Kalau mereka ketahuan melanggar –merokok dalam lingkungan sekolah malah juga untuk luar sekolah- maka berarti mereka membuat kasus pelanggaran peraturan sekolah. Kasus pelanggaran tata tertib sekolah harus diproses mulai dari tingkat wali kelas, guru BK (Bimbingan Konseling), pihak Kepala Sekolah. Dan kalau tidak bisa dibina maka mereka "dibinasakan"- disuruh pindah sekolah atau dipulangkan ke orangtua.

Pelaksanaan larangan merokok tentu saja bervariasi wujudnya pada banyak sekolah. Ada sekolah yang melaksanakan dengan serius dan penuh tanggung jawab dan ada pula yang menerapkannya penuh pura-pura dan sekedar basa- basi. Sekolah yang sangat peduli dengan kualitas pendidikan, umumnya tidak mengenal basa basi dalam menegakkan disiplin dan wibawa sekolah. Namun bagi sekolah yang susah payah untuk meraih prestasi maka disiplin atau peraturan sekolah bisa ditawar- juga bisa sekedar basa-basi.

Sekolah yang siswanya, apa lagi kalau guru-gurunya, gemar merokok dapat dipantau dan dijumpai di mana- mana. Seringkali sarana tempat merokok mereka adalah di kantin atau di warung seputar sekolah milik masyarakat lokal. Beberapa anak didik sengaja membolos beberapa menit atau mencari alasan untuk keluar kelas dan menyelinap ke dalam warung dekat sekolah agar bisa mengepulkan asap rokok untuk memperoleh decak kagum dari teman- teman yang juga merintis diri untuk jadi perokok. Sebagian yang lain sengaja memilih tempat yang agak jauh dari sekolah agar bisa merokok seperti yang dianjurkan oleh puluhan sampai ratusan iklan rokok yang dikemas sangat menarik dan diiringi rayuan seperti : merokok untuk mewujudkan selera pria sejati.

Ada kritikan yang patut kita lontarkan kepada pemilik warung yang melegalkan rokok untuk siswa di seputar sekolah. Silahkan mencari rezki lewat berdagang dengan menyediakan kebutuhan makan minum warga sekolah, tetapi jangan mencari untung lewat bisnis rokok karena merokok adalah illegal untuk anak didik dan warga sekolah.

Tentu saja semua anak didik sudah tahu bahwa mereka tidak boleh merokok. Tetapi sebagian mereka menjadi bingung memahami nasehat yang berbunyi seperti ”merokok dapat merusak kesehatan”. Namun model atau suri teladan mereka di rumah (orang tua) dan di sekolah (guru- guru) melanggar nasehat ini. Dan akhirnya sebagian mereka yang lagi dilanda kebingungan untuk mencoba merokok atau tidak perlu merokok- merintis jalan untuk menjaji perokok sejati.

Larangan merokok tampaknya hanya ditujukan untuk anak didik, bagaimana untuk guru- guru? Larangan merokok tidak berlaku untuk guru guru perokok. Barangkali karena peraturan dan larangan dirancang oleh guru dan harus dipatuhi oleh anak didik. Sementara guru- guru sendiri seolah olah memiliki hak kebal hukum. Pantaslah banyak guru yang semau gue merokok di lingkungan sekolah.

Guru perokok yang masih bersembunyi saat merokok masih bisa dianggap sebagai guru perokok yang memiliki sopan santun. Namun bagaimana dengan guru yang memperlihatkan kekuasaannya, dengan rasa enteng minta tolong belikan rokok pada anak didik dan merokok di depan keramaian murid seenaknya. Dan ada guru yang dengan arogannya merokok di dalam kelas saat melaksanakan PBM- Proses Belajar Mengajar. Bagi guru yang begini maka berlakulah peribahasa yang berbunyi : guru kencing berdiri, murid kencing berlari. Kalau guru menjadi suri teladan yang jelek maka tentu kelak anak didik mereka menjadi lebih jelek lagi. Kalau guru adalah perokok yang hebat dalam kelas maka jangan salahkan kalau kelak ada anak didik yang menjadi pemakai narkoba dan peminum miras- minuman keras.

Melihat fenomena di atas maka dewasa ini setiap anak didik perlu untuk memiliki daya tahan yang lebih hebat untuk tidak merokok. Karena ajakan untuk merokok- memasukan asap rokok kretek atau zat- zat beracun ke dalam paru- paru datang dari berbagai pihak. Saat mereka tahu dengan bahaya merokok, namun di rumah mata mereka menatap orang yang mereka hargai- bapak, kakak, paman, kakek dan tetangga- menghisap rokok dengan ekspresi kenikmatan. Di sekolah mereka juga terganggu oleh gaya guru yang dengan enteng menghisap rokok.

Siswa yang tidak pernah merokok pun akhirnya memperoleh pressure atau tekanan dari teman sebaya yang sudah menjadi perokok junior. Mereka yang tidak merokok akan diberi ejekan- hukuman psikologis- sebagai orang yang tidak jantan. ”hanya orang perempuanlah yang tidak merokok, atau dia tidak merokok karena pingin naik haji- alias ia orang yang amat kikir”. Tekanan dalam bentuk ejekan sangat mujarab untuk membuat anak didik (teman sebaya) segera mencoba merokok sampai akhirnya juga jadi pencandu rokok.

Andaikata ada yang tidak percaya dengan judul tulisan ini, maka marilah kita kunjungi sekolah- sekolah SLTA – SMA, SMK dan Madrasah- di beberapa daerah pada saat sekolah usai. Kita akan melihat siswa-siswa bubar, melangkah menuju rumah, maka pasti terlihat beberapa siswa mulai memegang bungkus rokok. Mereka saling bercanda dan melempar ejekan pada yang tidak merokok atau meledek teman yang merek rokoknya kurang gaul.

Memang merokok kelihatan sudah menjadi gaya hidup bagi sebagian guru dan sebagian anak didik. Fenomena para perokok adalah bila mereka saling berjumpa maka mereka saling meminta atau menawarkan korek api. Atau sebelum mereka memulai percakapan mereka saling menyodorkan bungkus rokok kretek sebagai tanda persahabatan yang tulus. Ini adalah bukti bahwa merokok bagian dari gaya hidup. Sambil mengepulkan asap nikotin dari bibir yang hitam maka barulah meluncur kalimat- kalimat pergaulan mereka.

Sepuluh atau dua puluh tahun yang silam jumlah produksi rokok tentu saja tidak sebanyak yang sekarang. Namun kini produksi rokok sudah amat mengkhawatirkan dari sudut jumlah rokok dan jumlah merek rokok itu sendiri. Rokok rokok- pemilik industri rokok- tersebut saling berlomba untuk menarik dan mengajak semua orang agar segera mejadi perokok sejati. Iklan rokok dengan bahasa yang indah- membujuk dan mengajak semua orang untuk jadi perokok- terpajang di depan mata dimana- mana; di gardu polisi lalu lintas, pada jalan raya utama, di tempat keramaian anak anak muda. Malah industri rokok tidak segan- segan bersedia menjai sponsor atau donator dari berbagai kegiatan sekolah selagi spanduk nama rokok mereka tidak lupa untuk dipajang.

Masih adakah orang yang peduli sekarang untuk menasehati anak didik dan guru- guru untuk tidak merokok? Terus terang bahwa merokok sebagai gaya hidup tidak memberikan manfaat apa-apa, kecuali hanya memberi mudharat dalam meracuni paru-paru anak-anak muda. Memilih merokok sebagai gaya hidup sangat merugikan diri karena mendatangkan penyakit. Menjadi penghisap rokok hanya memberikan keuntungan bagi pemilik pabrik rokok yang punya niat tidak baik yaitu untuk meraup laba dan ikhlas membuat pencandu rokok untuk segera sakit atau pelan-pelan bergerak menuju kematian.

Bukankah sudah cukup banyak jumlah orang yang meninggal karena mengalami sakit paru-paru gara-gara mejadi pencandu rokok yang hebat dalam hidupnya? Maka kini fikirkanlah untuk menjadikan merokok sebagai gaya hidup di sekolah.

(Marjohan, Guru SMA Negeri 3 Batusangkar)

Seputar Larangan Merokok…, Merokok Jelas Merusak Kesehatan, Bukan Polusi Udara

Oleh: Eddi Santosa - detikNews

Di Indonesia larangan merokok di tempat publik masih memihak industri rokok, dengan dikaburkan ke 'polusi udara'. Di Belanda tegas: merokok merusak kesehatan, karena itu bukan perokok harus dilindungi.

Konsideran penting dari larangan merokok di Belanda, yang dituangkan dalam Tabakswet (UU Tembakau) adalah tegas: demi melindungi rakyat dari penyakit jantung dan pembuluh darah, kanker, dan puluhan jenis penyakit kronis lainnya seperti COPD atau chronic obstructive pulmonary disease (penyakit paru kronis obstruktif).

Tidak ada pengaburan dengan polusi udara. Pesan Undang-undang jelas dan tegas bahwa merokok merusak kesehatan. Pada konsideran berikutnya baru disebutkan bahwa UU tersebut bertujuan untuk mengurangi jumlah perokok dan membatasi gangguan yang disebabkan oleh asap rokok.

Baik merokok aktif maupun merokok pasif itu sangat merusak kesehatan, terutama anak-anak dan wanita hamil jika mereka terpapar asap rokok (merokok pasif, alias ikut menghirup asap rokok yang disemburkan oleh orang lain yang merokok).

Pertumbuhan bayi dalam kandungan terbukti terganggu akibat asap rokok, antara lain ditunjukkan dengan berat badan bayi yang ringan saat kelahiran. Sedangkan pada anak-anak, asap rokok dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan dan penyakit kronis pada saluran nafas.

Selain itu anak-anak yang terpapar asap rokok perlahan-lahan dapat ketagihan, yang kelak dapat menyebabkan mereka ikut menjadi perokok. Bagi industri rokok, situasi seperti itu jelas menjadi jaminan pasar abadi.

Di Belanda, anak-anak yang pada usia ABG tergelincir mulai merokok 75% dari mereka menjadi kecanduan. Pada 2003 tercatat 9.000 perokok terkena kanker paru-paru.

Tabakswet mulai diundangkan pada 1990. Iklan rokok dan sponsor dalam bentuk dan kedok apapun, termasuk kedok olahraga dan musik, dilarang. UU ini terus diperluas dan dipertegas (2002, 2003, 2004).

Mulai 1 Januari 2004 Belanda sudah memberlakukan larangan merokok di tempat publik kecuali horeca (hotel, restoran, cafe). Setelah dipandang cukup siap, mulai 1 Juli 2008 berlaku pelarangan total merokok di semua ruang publik, termasuk horeca.

Perang politik melawan rokok ini juga didasari riset yang menunjukkan bahwa kompensasi ekonomi atas biaya kesehatan rakyat akibat merokok ternyata jauh lebih besar dari pendapatan cukai dan pajak rokok.

Seputar Larangan Merokok…, Menimbang Kawasan Tanpa Rokok di Yogya

Oleh: Didik Joko Nugroho
http://www.kr.co.id

HARI-HARI ini publik Yogyakarta dihangatkan dengan perbincangan ditetapkan pasal yang mengatur tentang kawasan larangan merokok di dalam Perda Pencemaran Udara. Perda Pencemaran Udara ini mempunyai visi besar untuk meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat Yogyakarta. Seiring dengan visi tersebut maka asap rokok menjadi salah satu indikator baku mutu udara. Masuknya asap rokok dalam indikator baku mutu udara ini tak ayal memunculkan wacana untuk menerapkan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di tempat-tempat tertentu.

Dalam sebuah penelitian diungkapkan bahwa pencemaran udara akibat asap rokok sepuluh kali lebih besar dari pencemaran akibat mesin diesel. Selain itu dari asap yang dihasilkan oleh seorang perokok, 15% dihisap oleh perokok (active smoker) itu sendiri sedangkan 85% dihisap oleh orang di sekitarnya (passive smoker). Paparan asap rokok ini mengandung 4000 zat kimia beracun, 43 di antaranya bersifat karsinogetik (merangsang tumbuhnya kanker). Beberapa zat yang sudah familier dalam perbincangan kita sehari-hari seperti tar, nikotin dan karbon monoksida (CO).

Melihat fakta-fakta ini maka perlunya sebuah regulasi tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR) mutlak diperlukan. Di beberapa daerah seperti DKI Jakarta dan Palembang regulasi tentang kawasan bebas asap rokok sudah diatur secara khusus dalam bentuk Perda maupun Peraturan Gubernur. Kebijakan-kebijakan di tingkat daerah ini sebenarnya merupakan implementasi Peraturan Pemerintah yang dibuat terlebih dahulu seperti Peraturan Pemerintah No 81/1999 No 19/2003. Semua Peraturan Pemerintah ini tidak mencantumkan sanksi ataupun aturan tentang kawasan bebas asap rokok dengan harapan dibuat oleh masing-masing Pemerintah Daerah. Harapan PP No 19/2003 ini ternyata ditangkap dengan tafsir yang bermacam-macam di tingkat daerah, DKI Jakarta dengan Peraturan Gubernur Nomor 5 Tahun 2005 mengatur secara tegas tentang kawasan larangan merokok akan tetapi bagi beberapa daerah ketidakjelasan sanksi dan aturan ini menyebabkan daerah kesulitan mencari rujukan dalam hal penegakan hukum nantinya.

Regulasi yang Membumi
Melihat adanya dilema penerapan regulasi Kawasan Tanpa Rokok (KTR) ini maka diperlukan beberapa upaya yang harus dilakukan dengan simultan.

Pertama, mengembalikan filosofi baku mutu udara. Keberadaan regulasi di tingkat pusat yang multitafsir mengakibatkan respons di tingkat lokal pun menjadi beragam. Hal ini tercermin dari kebingungan Pemda dalam menerapkan PP No 19/2003 khususnya Pasal 22 tentang kewajiban menerapkan Kawasan Tanpa Rokok. Gubernur DIY juga mengungkapkan bahwa belum adanya ketentuan dari Pemerintah Pusat tentang baku mutu udara emisi dari komponen sumber pencemaran orang merokok akan menyulitkan dalam hal penegakan hukum nantinya.

Melihat permasalahan yang bermuara dari ketidakjelasan regulasi di tingkat pusat maka diperlukan kearifan dari stakeholder di tingkat daerah untuk mencoba berpikir ke belakang tentang latar belakang munculnya regulasi tersebut. Sebuah proses untuk mencoba mengungkap dan mengembalikan regulasi tersebut di tingkat filosofis. Dalam tataran pragmatis keberadaan aturan tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR) kita tarik belakang sebagai sebuah rangkaian mewujudkan lingkungan yang berkualitas di sisi kualitas udara. Dengan mencoba mengembalikan ke filosofi awal regulasi maka akan mempermudah untuk membuat peraturan secara detail termasuk di dalamnya adanya sanksi pelanggaran.

Kedua, adanya upaya penyadaran dan asistensi terhadap masyarakat. Dalam masyarakat kita, merokok sudah merupakan hal yang sudah menyatu dalam denyut kehidupan. Artinya, ketika seorang perokok merokok dalam lingkungan publik sudah bukan menjadi suatu masalah. Hal ini dibuktikan dengan fakta bahwa merokok bukan sesuatu yang tabu dalam budaya kita, berbeda dengan pemakaian narkoba atau perilaku mencuri yang jelas-jelas pantangan bagi masyarakat kita.

Ada sesuatu yang salah dalam kerangka pikir sebagian masyarakat kita bahwa merokok bukan sesuatu yang berbahaya bagi kehidupan kita. Fakta bahwa dalam sebatang rokok terkandung 4.000 racun kimia dan menyebabkan gangguan semua organ tubuh kita seolah tertutup oleh kenikmatan dan citarasa yang ditawarkan oleh sebatang rokok. Kerangka berpikir secara instan (instan culture) menjadi tembok besar penghalang penyadaran terhadap bahaya rokok. Efek dari perilaku merokok yang dirasakan setelah 10-20 tahun mendatang menyebabkan para perokok akan selalu mencari pembenaran sepihak ketika diberikan pemahaman tentang bahaya merokok.

Untuk itulah diperlukan upaya-upaya penyadaran secara masif baik melalui institusi kesehatan, akademisi, dan masyarakat. Upaya penyadaran ini dengan memberikan fakta-fakta baik secara ilmiah ataupun empiris terkait efek rokok dari sisi kesehatan, ekonomi, dan hubungan sosial. Keberadaan klinik-klinik berhenti merokok menjadi salah satu tawaran yang strategis dalam upaya penyadaran ini.

Setelah proses penyadaran maka asistensi terhadap kesadaran masyarakat ini menjadi hal pokok yang kemudian harus dilakukan. Di sinilah peran penting dari komunitas-komunitas sosial yang peduli terhadap upaya penghentian merokok seperti LSM dan institusi kesehatan diperlukan.

Ketiga, penegakan regulasi. Pengalaman penerapan Perda No 2 Tahun 2005 tentang pengendalian pencemaran udara oleh Pemda DKI Jakarta merupakan pengalaman yang berharga.

Keberadaan peraturan yang secara tegas melarang orang merokok di tempat-tempat tertentu tersebut ternyata semakin lama semakin tidak efektif berjalan. Walaupun peraturan tersebut telah disertai dengan sanksi-sanksi yang cukup berat, di antaranya denda 50 juta dan kurungan selama 6 bulan tidak dapat menimbulkan efek jera bagi para perokok. Di awal penerapan Perda tersebut petugas dari Pemda DKI aktif merazia dan menindak orang-orang yang tetap merokok di kawasan yang dilarang akan tetapi seiring berjalannya waktu dan banyaknya pelanggar maka ketegasan dari para petugas pun kemudian melemah.

Berkaca dari pengalaman ibukota ini maka untuk rencana penerapan regulasi Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di Yogyakarta mutlak diperlukannya konsistensi dalam penegakan peraturan tersebut. Konsistensi dalam hal ini meliputi sosialisasi dan penindakan pelanggaran. Konsistensi sosialisasi diperlukan agar masyarakat mengetahui keberadaan peraturan tersebut beserta konsekuensi-konsekuensi terhadap pelanggarannya. Sedangkan konsistensi penindakan pelanggaran diperlukan untuk memberikan efek jera terhadap para perokok yang tidak mengindahkan keberadaan Kawasan Tanpa Rokok (KTR).

Keempat, keteladanan para pemimpin. Tidak dapat dipungkiri bahwa budaya paternalistik masih sangat kuat di dalam masyarakat Indonesia. Oleh karena itu afektivitas dari regulasi yang mengatur tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR) salah satunya akan bergantung pada keteladanan dari para pemimpin, baik itu pemimpin formal maupun informal. Masyarakat bawah dalam kesehariannya hanya akan melihat apa yang dilakukan oleh para pemimpinnya ketika pemimpin konsisten dengan aturan yang mereka buat maka rakyat pun akan patuh tetapi apabila pemimpin melanggar aturan maka akan begitu pula dengan rakyatnya, ibarat peribahasa guru kencing berdiri, murid kencing berlari.

(Didi Joko Nugroho, Staf Quit Tobbaco Indonesia, Center for Bioethics and Medical Humanities, Fakultas Kedokteran UGM)

Seputar Larangan Merokok…, Perlu Masuk Perda; Pencemaran Udara

Sumber: http://www.kr.co.id

YOGYA (KR) - Kondisi udara di DIY telah terindikasi terus tercemar, sehingga membuat turunnya mutu udara ambien. Selain itu juga menyebabkan menurunnya daya dukung lingkungan dan kesehatan manusia dan makhluk lainnya. Tidak terdeteksinya besaran gas buang kendaraan bermotor, membuat pencemaran kurang terkendali.
Demikian sebagian dari tanggapan fraksi-fraksi yang terungkap dalam Pandangan Umum Fraksi-Fraksi Rapat Peripurna DPRD DIY, Rabu (13/6). Rapur yang dihadiri oleh Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Wakil Gubernur DIY, KGPAA Paku Alam IX menanggapi pengajuan dua Raperda, yakni Raperda Pencemaran Udara dan Raperda PD Jamkesos.

Menurut Fraksi Amanat Nasional (FAN), pengajuan Raperda Pencemaran Udara ini sudah terlambat. “Bahkan pada tahun 2003, saat dilakukan uji emisi kepada 500 kendaraan yang beroperasi, 69 persen tidak memenuhi Baku Mutu Emisi sumber bergerak sesuai SK Gubernur No 167/2003,” ungkap juru bicara FAN, Sudaryono.

Selain itu, sejumlah fraksi juga mencermati pencemaran akibat merokok. Merokok merupakan salah satu sumber pencemaran udara, terutama di dalam ruangan. Aturan mengenai merokok di dalam ruangan, perlu diatur dalam Peraturan Daerah (Perda), selain pencemaran udara lainnya.

Menurut pihak FAN, dalam Raperda yang diajukan oleh eksekutif, perlu juga dimasukkan ketentuan merokok di dalam ruangan. Namun sayangnya, dalam Raperda itu, ternyata tidak mengatur pencegahan pencemaran udara dalam ruangan.

Sedangkan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS) juga mempertanyakan tidak masuknya pengaturan merokok dalam ruangan ke Raperda yang diusulkan. Seperti kita ketahui, merokok adalah salah satu aktifitas yang menghasilkan asap dan kemudian mencemari udara. Penelitian ilmiah tentang bahaya perokok pasif telah dilakukan selama lebih dari 20 tahun. Tidak ada keraguan bahwa merokok secara pasif sangat berbahaya bagi kesehatan manusia, menyebabkan kanker dan banyak penyakit pernafasan serta kardiovaskuler pada anak-anak serta orang dewasa, dan tidak jarang mempercepat kematian.

Sedangkan juru bicara Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (FPDIP), HN Krisnam mengemukakan, aspek perilaku dan budaya tidak dapat ditinggalkan di dalam usaha memperbaiki kualitas lingkungan, termasuk di dalamnya adalah kualitas udara. Di sisi lain, penegakan hukum lingkungan merupakan hal yang tidak boleh ditawar lagi. Oleh sebab itu, Fraksi PDIP di dalam perbaikan kualitas udara mendukung sebuah payung hukum berupa Peraturan Daerah Tentang Pengendalian Pencemaran Udara ini.

Bahaya pencemaran udara juga disampaikan oleh Fraksi Kebangkitan Bangsa (FKB). Melalui juru bicaranya, H Abdul Halim Muslih mengemukakan, dari penelitian telah membuktikan bahwa dampak pencemaran lingkungan telah menimbulkan kerawanan kesehatan secara serius, antara lain berbagai kelainan pada ibu hamil dan bayi lahir dan mengancam siapa saja. Hal ini menjadi masalah serius bagi keberlangsungan generasi masa depan. “Pengendalian polutan sebetulnya menjadi langkah penting dan prioritas untuk menciptakan kenyamanan, menjaga kesehatan dan keberlangsungan generasi sehat. Masalah klasik yang dihadapi dalam hal penegakan hukum adalah aparat yang permisif terhadap pelanggaran yang kemudian melahirkan sikap kolusi dan bahkan korupsi.

Seputar Larangan Merokok…, Dosa Orang Dewasa

Oleh: Risang Rimbatmaja

Global Youth Tobacco Survey atau GYTS Indonesia menyebutkan 24,5 persen remaja laki-laki Indonesia adalah perokok (Kompas, 9/11/2007).

Situasi ini sungguh memprihatinkan, apalagi merokok merupakan pintu ke arah perilaku yang lebih berisiko, termasuk penyalahgunaan narkoba. Namun, yang menjadi pertanyaan sekarang adalah apakah kita sudah memberi solusi yang efektif?

Salah satu pendekatan yang umum ditawarkan untuk mencegah remaja mulai merokok atau menjadi pencandu serius adalah melalui komunikasi publik, seperti melalui penyebaran pesan-pesan tentang bahaya merokok atau kegiatan-kegiatan penyuluhan di sekolah. Pendekatan yang sifatnya lebih enforcement atau penerapan peraturan yang disertai sanksi sejauh ini menghadapi banyak kendala, di antaranya adalah kapasitas dan integritas sekolah untuk mengawasi seluruh gerak-gerik siswa dan tidak adanya panutan dari kelompok guru. Seperti diketahui luas, guru perokok bukanlah hal yang aneh di sekolah. Padahal, seperti kata pepatah lama, guru kencing berdiri, murid kencing berlari.

Sementara, di lingkungan luar sekolah kita juga menyaksikan implementasi peraturan yang (sudah diprediksikan) mandul, seperti Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2003 tentang Pengamanan Rokok bagi Kesehatan dan yang lebih baru, Perda DKI Jakarta No 2/2005 tentang Pengendalian Pencemaran Udara. Meski peraturan yang disebut terakhir berisi sanksi yang tegas, kenyataannya masih banyak ditemui warga yang dengan santai merokok di kendaraan umum atau tempat-tempat umum lainnya tanpa khawatir akan sangsi sampai Rp 50 juta seperti tertulis dalam perda.

Ego orang dewasa
Komunikasi publik kemudian menjadi andalan perubahan perilaku remaja, tetapi pendekatan itu rasanya belum banyak membuahkan hasil. Secara jujur harus diakui bahwa penyebab utama ketidakberhasilan komunikasi publik adalah justru paradigma kelompok orang dewasa sendiri yang cenderung egosentris dan menempatkan remaja sebagai obyek atau bahkan pesakitan.

Remaja selalu dianggap sebagai obyek yang dianggap tidak tahu atau tidak sadar akan bahaya rokok. Karena itu, mereka dipandang sebagai “khalayak yang perlu diberi tahu”. Di lain pihak, para penggiat kampanye antirokok, orang dewasa, diposisikan lebih tinggi, yakni sebagai mereka yang lebih tahu, ahli, berpengalaman, dan lain-lain. Padahal, para remaja perokok mungkin jauh lebih tahu tentang bahaya merokok daripada yang diperkirakan. Bukankah mereka lebih sering membaca peringatan pemerintah tentang bahaya merokok?

Diungkap dalam buku Erica Weinstraub Austin berjudul Reaching Young Audiences (1995), kesalahan umum dalam desain kampanye (bagi kelompok remaja) adalah mengasumsikan bahwa dengan mengangkat sebuah perilaku sebagai suatu yang buruk atau tidak sehat (di dalam pesan-pesan kampanye), maka remaja akan menolak perilaku itu.

Tipikal pesan kampanye antirokok adalah merokok merupakan perilaku yang sangat berbahaya bagi kesehatan karena itu jangan merokok. Dipaparkan bahwa merokok dapat menyebabkan impotensi, gangguan kehamilan, kanker, dan lain-lain. Namun, para remaja, seperti halnya orang dewasa, tentu tidak selalu memaknainya sesuai pesan yang tertulis.

Ketika para ahli kesehatan memandang merokok sebagai perilaku yang merusak kesehatan, banyak remaja (dengan bantuan komunikasi komersial industri rokok) mengartikannya secara positif, sebagai citra kekuatan, perilaku risk-taking yang jantan, dan sebagainya.

Mengutip McGuire (1989), dalam konteks remaja kita gagal mengenali sebagian daya tarik perilaku (buruk) yang justru bisa terletak pada “pelarangannya”.
Paradigma yang egosentris itu sebetulnya bersumber dari ketidakmauan dan atau ketidakmampuan orang dewasa mendengarkan suara remaja dan menganggap diri mereka lebih hebat. Nilai semacam ini sebetulnya banyak dijumpai dalam komunikasi kesehatan di medical era yang di banyak negara sudah ditinggalkan satu generasi lalu (Strategic Planning for Participatory Social and Behavior Change Communication in Public Health, JHU-CCP 2007).

Model komunikasi yang diandalkan dalam medical era adalah model linear SMR (sender medium receiver) di mana perubahan perilaku dipercaya merupakan hasil niscaya dari pengiriman pesan melalui medium tertentu yang sifatnya monolog (satu arah), semisal penyebaran poster atau kegiatan-kegiatan penyuluhan.

Beberapa dekade lalu model komunikasi perubahan perilaku berkembang menjadi lebih dialogis (field-era) di mana umpan balik khalayak dipercaya sebagai komponen penting untuk mengembangkan program yang efektif. Di sini, khalayak tidak lagi dianggap sebagai sasaran seperti benda mati yang tinggal ditembak oleh peluru ajaib. Khalayak menjadi lebih sebagai responden yang perlu diketahui dan diakomodasi reaksinya.

Partisipasi remaja
Namun, pengalaman implementasi program-program komunikasi akhirnya menyimpulkan bahwa dialog saja tidak cukup. Di dekade terakhir, model komunikasi yang terlihat membawa hasil yang lebih berkelanjutan adalah model yang lebih strategik-partisipatif. Tidak ada lagi batas yang tegas antara khalayak dengan pemrogram. Yang dipentingkan adalah kolaborasi yang egaliter. Duduk sama rendah, berdiri sama tinggi. Di sini, remaja menjadi warga yang memiliki posisi yang sama dengan orang dewasa penggiat antirokok. Mereka bersuara, mendapat hak untuk bersama-sama berpikir, bergerak mencegah ataupun mengubah perilaku merokok, dan juga menilai hasilnya.

Memahami suara remaja akan menghasilkan program dengan pendekatan yang berbeda. Contoh yang klasik dalam kampanye antirokok adalah Program Truth yang difasilitasi oleh The American Legacy Foundation (Sly, Heald & Ray 2001 di dalam Panduan Lapangan Merancang Strategi Komunikasi Kesehatan, JHU/CCP 2003). Alih-alih mengeksploitasi dampak rokok terhadap kesehatan remaja, Program Truth menguatkan identitas remaja sebagai pemberontak, pengambil risiko, atau orang yang mandiri yang tengah berkembang dalam diri remaja.

Dalam kampanye Truth, perusahaan tembakau dikuliti dan diperlihatkan sebagai penjahat yang menjual produk yang mereka sendiri sudah tahu bahayanya. Dengan mengungkap “kebenaran” tentang perusahaan rokok, kampanye memberi alasan yang kuat bagi orang muda yang tengah memiliki hasrat memberontak yang kuat untuk melakukan pemberontakan terhadap perusahaan rokok raksasa yang berusaha keras mencelakakan mereka.

Sly, Heald dan Ray (2001) melaporkan bahwa pendekatan Truth membawa hasil yang cukup menggembirakan. Negara Bagian Florida melaporkan bahwa kampanye ini menghasilkan angka kesadaran yang tinggi, perubahan signifikan dalam sikap atau kepercayaan dan menurunkan angka merokok di kalangan remaja.

Perubahan positif semacam itu tentu dibutuhkan Indonesia. Namun, kita harus mengembangkan sendiri program terbaik untuk menanggulangi masalah remaja dan merokok.

(Risang Rimbatmaja Volunter di Koalisi untuk Indonesia Sehat dan Forum Komunikasi Gizi dan Kesehatan)

Seputar Larangan Merokok…, Iklan Rokok Musuh Bersama

Sumber: http://www.kompas.com

Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Meutia Farida Hatta Swasono mengimbau masyarakat agar menjadikan iklan rokok sebagai musuh bersama karena berdampak pada kesehatan dan menyebabkan kematian. Tidak hanya itu, iklan rokok juga meningkatkan prevalensi perokok usia dini dan ini mengancam sumber daya manusia Indonesia pada masa mendatang.

“Kita tidak boleh toleran terhadap sponsorship industri rokok. Kita harus menyadarkan masyarakat dan mengubah pola pikir, bahwa merokok adalah proses pemiskinan. Jangan populerkan lagi pandangan agama bahwa merokok itu makruh, karena mudaratnya lebih banyak daripada manfaatnya,” kata Meutia ketika membuka workshop Perlindungan Anak dari Dampak Iklan, Promosi, dan Sponsor Rokok, yang diadakan Komisi Nasional Perlindungan Anak (KNPA), Senin (28/1) di Jakarta.

Menurut Meutia, Indonesia berada di urutan ke-5 di antara negara-negara dengan konsumsi tembakau tertinggi di dunia. Jumlah perokok aktif dewasa di Indonesia 34,4 persen dari total penduduk 234 juta jiwa. Perokok pada kelompok anak berumur 13-15 tahun pada 2007 mencapai 24,5 persen. Menurut dia, besarnya angka merokok ini diperparah dengan kecenderungan meningkatnya prevalensi perokok pemula di usia 5-9 tahun dari 0,4 persen (2001) menjadi 1,8 persen (2004).

“Survei menunjukkan 70,7 persen responden perokok anak dan remaja yang banyak menghabiskan waktu di luar rumah, terutama bersama teman sebaya,” katanya mengutip penelitian Laboratorium Kajian Pemberdayaan Masyarakat (LKPM) Universitas Andalas, Padang.

Meutia memaparkan hasil survei dari Rumah Sakit Jantung Harapan Kita, Jakarta, yang menunjukkan hampir 80 persen penderita jantung mempunyai kebiasaan jelek, yaitu merokok.

Dengan ledakan jumlah perokok pada usia anak dan remaja, dapat diprediksi pada masa akan datang penderita penyakit paru-paru akibat merokok, kanker, dan penyakit jantung adalah generasi berusia lebih muda. “Kondisi ini akan berpengaruh pada kualitas sumber daya manusia kita yang akan menentukan masa depan bangsa,” ujarnya.

Hal ini ironis, lanjut Menteri, karena Indonesia menjadi tempat buangan dan pemasaran rokok dari luar negeri, sebab sejumlah negara sudah melarang warganya merokok. Sementara biaya pengeluaran rumah tangga, terutama rumah tangga miskin, untuk merokok justru cenderung meningkat.

Ironis
Sekjen KNPA Arist Merdeka Sirait mengatakan, agresifnya iklan, promosi, dan kegiatan sponsor oleh industri rokok telah berkontribusi meningkatkan konsumsi tembakau oleh anak-anak dan remaja Indonesia. Ini menjerat remaja menjadi perokok pemula. Januari-Oktober 2007 ada 1.350 kali kegiatan diselenggarakan atau disponsori industri rokok—135 kegiatan per bulan.

Ironisnya, Indonesia adalah satu-satunya negara di Asia Tenggara yang belum meratifikasi Konvensi Internasional mengenai Pengendalian Tembakau. Indonesia tak punya UU pengendalian tembakau. Hanya ada PP No 19/2003 mengenai Pengamanan Rokok bagi Kesehatan, di mana industri rokok boleh beriklan di media elektronik, media cetak, dan media luar ruang.

Seputar Larangan Merokok…, Jika Dunia Tanpa Tembakau

Sumber: http://www.jurnalnasional.com

MEMBICARAKAN rokok memang tak ada habisnya. Hari ini, dunia kembali memperingati Hari Tanpa Tembakau yang dicanangkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) 20 tahun silam. Tujuannya, mengurangi angka kematian akibat racun rokok yang tiap tahun mencapai 3,5 juta jiwa di seluruh dunia.

Di Jakarta, Badan Pengelola Lingkungan Hidup (BPLHD) DKI Jakarta hari ini akan melangsungkan kampanye simpatik bertema “Lingkungan Bebas Asap Rokok” dan “Udara Bersih untuk Semua”. Rencananya, para peserta kampanye akan membagikan gelang karet bertuliskan “No Tobacco” kepada pejalan kaki dan meminta perokok di sekitar tempat acara untuk mematikan rokoknya sebagai tanda peringatan hari tanpa tembakau sedunia.

Akankah peringatan tahun ini menjadi tonggak gerakan masyarakat anti rokok di Jakarta? Sudah sekian tahun sejak Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memberlakukan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 2 Tahun 2005 tentang pengendalian pencemaran udara dan Peraturan Gubernur Nomor 75 Tahun 2005 tentang kawasan dilarang merokok. Peraturan terakhir menyebutkan, pelanggarnya, yakni orang-orang yang merokok di kawasan bebas rokok akan dikenakan hukuman kurungan selama-lamanya 6 bulan atau denda maksimal Rp 50 juta.

Namun masih ingatkah penduduk Jakarta pada kedua peraturan tersebut. Ataukah peraturan-peraturan itu sudah habis masa berlakunya? Perda larangan merokok di tempat umum memang masih berlaku di Jakarta tapi seperti mati suri karena tak dipedulikan warganya. Perda tersebut sama sekali tak menimbulkan efek takut bagi para perokok aktif dan tidak pula mengubah sikap permisif perokok pasif.

Dari pemantauan Jurnal Nasional, tak sulit menemukan warga yang merokok di sembarang tempat, bahkan di area bebas rokok seperti sekolah dan ruangan ber-ac. Di halte bus, di dalam angkutan umum, trotoar, restoran, kafe, para perokok bisa dengan leluasa mengepulkan asap. Tak peduli apakah di dekatnya ada ibu hamil atau anak-anak, karena toh para perokok pasif itu tak menunjukkan keberatan.

“Susah soalnya saya sudah kebiasaan merokok,” ujar Awang (34) saat menunggu bus di depan pasar Cempaka Putih, Jakarta Pusat. Awang menuturkan, dia tidak takut dengan perda larangan merokok karena dia belum pernah melihat orang yang didenda karena melanggar peraturan tersebut. Ketidakpedulian serupa juga diutarakan Adli (28). “Asap rokok gak terlalu berpengaruh kalau dibanding sama asap knalpot kendaraan.”

Sementara beberapa perokok lain yang diwawancarai tampak tidak antusias menanggapi perda tersebut. “Jualan rokok tetap laku,” ujar Imas, pemilik warung kaki lima di terminal Senen, Jakarta Pusat.

Pakar Sosiologi Perkotaan, Wardah Hafidz, mengatakan, perda larangan merokok tidak akan ada fungsinya jika tidak ada pengawasan dan penegakan hukum yang berarti dan tegas. Selama ini, menurutnya, Pemda mengeluarkan peraturan tanpa ada mekanisme penerapan yang sungguh-sungguh. Sehingga yang terjadi kemudian peraturan itu diabaikan. Namun ia juga menyesalkan sikap permisif masyarakat terhadap kebiasaan merokok di sembarang tempat.

Karena itu, ujarnya, perlu upaya yang lebih gencar untuk menyadarkan masyarakat bagaimana asap rokok mencemari udara dan bahayanya bagi kesehatan. “Perlu sosialisasi yang terus-menerus karena ini sudah menyangkut gaya hidup dan cara pikir masyarakat.”

Dia berpendapat, tak sedikit orang yang merokok sekadar untuk menunjukkan identitas diri. Misalnya, ada pemikiran bahwa laki-laki akan kelihatan lebih jantan kalau merokok. “Selain itu, masyarakat kita menganggap yang berbahaya adalah narkoba, sedangkan rokok tidak,” kata Wardah. Kalau memang sulit mengurangi jumlah perokok, ujar Wardah, setidaknya ada perlindungan bagi para perokok pasif.

Dia menambahkan, efektif tidaknya Perda Pengendalian Pencemaran Udara tergantung pada kesungguhan institusi yang secara langsung bertanggung jawab dalam pelaksanaannya (dalam hal ini BPLHD) atau di mana isu tersebut menjadi fokus kegiatannya (dalam hal ini Dinas Kesehatan).

Seputar Larangan Merokok…, Anak-anak, Merokoklah!

Oleh: Seto Mulyadi
Sumber: http://www.kompas.com

Jangan kaget! Ini adalah seruan lantang industri rokok kepada anak-anak dan remaja kita.

Sayang, banyak orangtua tampaknya masih terlelap dan tidak sadar. Tahu-tahu, jutaan anak kita telah tercemar asap tembakau dan akan menjadi perokok aktif di masa depan. Dengan sistematis, industri rokok mengajak jutaan anak untuk sejak dini mulai gemar merokok.

Coba lihat iklan-iklan rokok di mana-mana, seolah tidak ada lagi ruang kosong yang ramah anak dan bebas dari dominasi iklan rokok. Mulai dari billboard, spanduk, umbul-umbul, iklan di media cetak ataupun elektronik, kaset atau film sampai ke seminar-seminar pendidikan pun tak luput dari promosi rokok.

Materi iklan pun menunjukkan segmentasi pasar yang dibidik. Bahwa merokok adalah baik. Merokok identik dengan nikmat, berani, macho, trendi, kebersamaan, santai, optimistis, penuh petualangan, kreatif, dan segudang istilah lain lagi yang membanggakan.

Tidak tanggung-tanggung, idola remaja—penyanyi, grup musik, atau para tokoh yang memenuhi selera pasar konsumen— dilibatkan sebagai model.

Industri rokok paham teori psikologi perkembangan anak bahwa—menurut teori perkembangan psikososial Erik Erikson—remaja sedang pada tahap the sense of identity, tahap mencari identitas, termasuk meniru dan mengikuti perilaku model yang menjadi idolanya. Dengan “serangan” iklan dan menampilkan identitas yang dicari remaja, otomatis mereka larut dalam pengaruh iklan, merasa lebih hebat dengan merokok.

Metode komunikasi persuasif yang digunakan pun memakai classical conditioning, yaitu mengubah sikap dengan mengondisikan antara perasaan positif dan benda yang diiklankan. Remaja pun tergiur saat disuguhi pesan-pesan seperti “Apa Obsesimu?”, “X-presikan Aksimu!”, dan “U are U!”.

Bahan adiktif
Kalangan industri rokok sering berkilah, iklan rokok tidak akan menimbulkan perokok baru, tetapi hanya menjaga agar perokok aktif tetap mengonsumsi produksinya atau agar tidak pindah ke merek lain. Namun, kenyataannya iklan rokok telah menjebak ratusan ribu anak dan remaja untuk mulai mencoba merokok, lalu menjadi pengguna tetap yang aktif.

Mereka menutup mata terhadap kenyataan bahwa mengiklankan rokok sama dengan mempromosikan bahan adiktif terhadap anak-anak. Saat merokok, mereka akan mengisap sekitar 4.000 racun kimia dengan tiga komponen utama yang berbahaya, yaitu nikotin, tar, dan karbon monoksida.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan, tembakau membunuh lebih dari lima juta orang per tahun, dan diproyeksikan akan membunuh 10 juta sampai tahun 2020. Dari jumlah itu, 70 persen korban berasal dari negara berkembang.

Lembaga Demografi UI mencatat, angka kematian akibat penyakit yang disebabkan rokok tahun 2004 adalah 427.948 jiwa, berarti 1.172 jiwa per hari atau sekitar 22,5 persen dari total kematian di Indonesia.

Remaja akan tetap menjadi sasaran utama untuk menggantikan perokok senior yang memiliki ketergantungan tinggi terhadap rokok, yang konon sekitar 30 juta akan wafat karena penyakit yang berhubungan dengan tembakau.

Coba simak laporan perusahaan rokok di AS, Philip Morris (1981), “Remaja hari ini adalah pelanggan tetap yang potensial untuk hari esok! Pola merokok remaja amat penting bagi Philip Morris….”

Hak anak
Melalui Sidang Ke-56 WHO, 192 negara anggotanya telah mengadopsi Kerangka Kerja Konvensi Pengendalian Tembakau (Framework Convention on Tobacco Control/FCTC) untuk melindungi generasi muda dari kerusakan kesehatan dan asap tembakau. Pasal 13 FCTC mensyaratkan negara anggota untuk melaksanakan larangan total terhadap segala jenis iklan, pemberian sponsor dan promosi produk tembakau, baik secara langsung maupun tidak dalam kurun waktu lima tahun setelah meratifikasi konvensi.

Sayang, Indonesia merupakan satu-satunya negara di Asia Pasifik yang belum meratifikasi konvensi ini dan belum memiliki undang-undang yang mengatur dampak bahaya tembakau, sementara Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran tetap mengizinkan iklan rokok di media elektronik dengan berbagai bentuknya.

Ketika kita semua tahu bahwa rokok ialah zat adiktif dan merupakan salah satu pembunuh hak hidup anak, pemerintah tampaknya belum tegas dalam melindungi anak dari bahaya tembakau. Padahal UU No 23/2002 tentang Perlindungan Anak menyatakan, pemerintah wajib dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak termasuk yang menjadi korban zat adiktif (Pasal 59). Pasal 89 Ayat 2 menegaskan, “Setiap orang yang dengan sengaja menempatkan, membiarkan, menyuruh melibatkan anak dalam penyalahgunaan, produksi atau distribusi alkohol dan zat adiktif lainnya dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun….”

Bagaimana nasib RUU Pengendalian Dampak Rokok dan Tembakau yang konon sudah disetujui 41 persen anggota DPR?

Badan POM mencatat 14.249 iklan rokok tersebar di media elektronik (9.230), media luar ruangan (3.239), dan media cetak (1.780). Hingga kini, tanpa kendala, iklan rokok terus mempromosikan bahan yang sarat pelanggaran hak anak, baik hak hidup, hak tumbuh dan berkembang, maupun hak untuk memperoleh perlindungan.

Kongres Anak Indonesia sebagai pemenuhan hak partisipasi anak tahun lalu telah mendesak pemerintah untuk membatasi iklan rokok di media massa sebagai bagian dari bentuk kekerasan terhadap anak.

Akankah kita terus membiarkan tingkah pembunuh berwajah santun berkeliaran di mana-mana menghiasi ruang-ruang publik kita? Lupakah kita kepada kesepakatan yang dicanangkan Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 2002 untuk menciptakan a world fit for children?

Tampaknya kita semua harus jujur untuk berani mengakui bahwa kita belum siap untuk memenuhi hak anak, agar nantinya mereka bisa berkata, “Tubuhku sehat, jiwaku kuat, siap menjadi pemimpin masa depan!”

(Seto Mulyadi Ketua Komnas Perlindungan Anak)

Seputar Larangan Merokok…, Obama, Bebas Rokok untuk Anak


Para aktivis anti-rokok di Amerika kini gencar menyorot Obama tentang resolusi akhir tahunannya untuk berhenti merokok. Mereka meminta Obama berbicara ke publik tentang kebiasaannya mengepulkan asap dari mulut. “Kami berharap Obama bisa menjadi teladan… semuanya bisa dilakukan bila ia memutus puntung rokok.”

Di Gedung Putih, Barrack Obama berjanji mematuhi larangan merokok. Tapi Obama tidak mengatakan apakah dengan janji itu berarti dia tidak akan mencari pintu belakang untuk bisa merokok. Obama memang berada dalam pilihan sulit. Presiden yang akan dilantik lusa ini, sebetulnya sudah menjanjikan soal niat berhenti merokoknya kepada Michelle, istrinya, Juni 2007 ketika dia memutuskan untuk mengikuti putaran kampanye pilpres Amerika Serikat.

Obama tak sanggup. Berat baginya untuk sama sekali berhenti. Dia masih tetap merokok, tiga hingga empat putaran kampanye pilpres Juni tahun lalu. Tom Brokow, wartawan NBC yang mewawancarainya Desember lalu, menulis bahwa Obama “telah berjanji untuk berhenti merokok,” meskipun, “kadang harus melakukan perang dalam dirinya untuk total berhenti merokok yang bahkan tak jarang ia menyerah pada kondisi tersebut.”

Obama mempunyai masalah yang cukup serius dengan pilihannya itu, kalaupun ia berjanji bahwa Gedung putih tetap akan memberlakukan zona bebas rokok. “Sebelumnya saya belum pernah menjadi perokok berat, saya telah berhenti secara perlahan beberapa tahun belakangan, saya juga telah mendapatkan sebuah permintaan yang tidak bisa ditawar oleh istri saya, sehingga ketika mengalami stress saat kampanye saya tidak mau selalu mengalah. Karena itu, saya mengunyah permen karet Nicorette,” ujarnya pada Chicago Tribune.

Selama berkampanye, ia bertarung dengan dirinya sendiri untuk tegas mematuhi tekadnya. Nicorette—permen karet pengganti rokok itu—menjadi temannya, dan terbukti efektif selama kampanye.

Benar, Obama merupakan salah satu presiden Amerika yang terbiasa merokok. Presiden pertama yang merokok adalah Gerald R. Ford yang terkenal dengan pipa rokoknya. Jimmy Carter dan Presiden George Bush, keduanya menentang rokok. Sementara itu, Bill Clinton sangat menyukai rokok dari waktu ke waktu.

Hanya saja jangan berharap mendapatkan gambar eksklusif Obama ketika merokok. Para wartawan sulit memotretnya dibandingkan jika dengan presiden lainnya, seperti Franklin Delano Roosevvelt, Dwight Eisenhower, Lyndon B Johnson, Gerald R Ford, Ronald Reagen ataupun Bill Clinton.

Namun para aktivis anti-rokok, di Amerika kini sedang gencar menyorot Obama tentang resolusi akhir tahunnya untuk berhenti merokok. Mereka meminta Obama berbicara ke publik tentang kebiasaannya mengepulkan asap dari mulut. Sebuah penelitian tidak ilmiah yang dilakukan di jalanan Amerika awal tahun ini menginginkan Obama untuk segera berhenti merokok, kendati mereka tidak mengatakan bahwa kebiasaan merokok merupakan larangan di Gedung Putih. Setidaknya, “Kami berharap Obama bisa menjadi teladan… semuanya bisa dilakukan bila ia memutus puntung rokok,” ujar seorang wanita yang ikut sebagai responden seperti dikutip abcnews.go.com. Mereka yakin Obama akan menginspirasikan banyak orang untuk berhenti menghisap nikotin.

Cukai
Di Amerika masalah rokok adalah masalah usang. Pada 1870, konsumsi rokok sudah mencapai 13,9 juta batang atau 36 per kapita di negeri Abang Sam itu. Lebih dari 60 tahun kemudian, angka itu naik hingga 976,91 per kapita. Naiknya tingkat konsumsi tak lalu membuat surut berbagai penentangan terhadapnya. Selama Perang Sipil hingga pembentukan American Tobacco Company, 1890, kekuatan anti-minuman keras berlanjut menjadi anti-rokok dalam berbagai bentuk.

Aktivis anti-tembakau mulai marak dan meluas ketika Lucy Gaston, menjadi motor dalam setiap aksi. Dia adalah srikandi untuk kampanye anti-rokok yang terlatih dalam Women’s Christian Temperance Union dan kemudian berjuang untuk Anti-Tobacco Movement medio 1890-an. Dia pula yang mendorong anak kecil agar menggunakan lencana atau pin anti-tembakau dan menggorganisasi barisan anak-anak untuk bernyanyi dan berdoa: untuk sebuah pertentangan dengan moyangnya yang merokok.

Kongres Amerika kini bahkan berencana meningkatkan cukai tembakau dan akan menggunakan pajak tadi untuk mendanai pengembangan Program Kesehatan Anak Negara atau SCHIP. Usai dilantik lusa, Obama diharapkan bisa segera meneken anggaran untuk program SCHIP, meskipun Obama enggan menaikkan cukai rokok di tengah resesi ekonomi yang kini mengimpit Amerika. “Kami berharap untuk aksi (Obama) yang lebih awal terhadap dana itu,” ungkap Melisa Wagoner, juru bicara senator Edward Kennedy dari Massachussetts, seperti dilansir New York Times.

Ketua Organisasi Anti Rokok, Matthew L Myers melihat terpilihnya Obama sebagai peluang yang mengubah segalanya. Presiden kampanye “Bebas Rokok untuk Anak” itu juga melihat bahwa 2009 merupakan tahun yang paling bersejarah dalam hal kemajuan terkait kebijakan pemerintah mengenai rokok federal, sejak 1964.

Ketika menjadi senator, Obama sangat mendukung upaya tersebut. Sebesar 35 juta dolar AS dari total pendapatan pajak rokok selama lima tahun, kini akan digunakan untuk menolong SCHIP. Sebagai senator yang merokok, Obama telah menjadi tolok ukur dan kampanyenya telah berhasil merubah perhatiannya terhadap masalah kesehatan.

Ini akan menjadi seru karena industri tembakau akan ditekan secara agresif bulan depan. Selain menaikkan pajak rokok, upaya yang sedang digemborkan ialah meratifikasi perjanjian anti-tembakau internasional. Selama pemerintahan Bush, hal itu masih buntu. Amerika merupakan satu dari dua negara, selain Indonesia, yang menjadi produsen dan konsumen utama tembakau yang juga belum meratifikasi perjanjian di bawah Badan Kesehatan Dunia (WHO). Perjanjian yang membatasi, memberi peringatan kesehatan, dan menaikkan pajak tembakau itu segera dibutuhkan untuk menghindari sejauh mungkin pengaruh para industrialis dalam hal penyusunan kebijakan.

Perjanjian tersebut juga bisa menghambat ekspansi bisnis pemain besar Philip Morris International. Maret tahun lalu perusahaan ini didukung oleh Altria Group, dalam rangka merangsang pertumbuhan pasar luar negeri. Namun ini di luar jalur legal dan dibatasi sesuai dengan regulasi Amerika Serikat. Phillip Morris saat ini mengontrol sekitar 15 persen perdagangan rokok dunia.

Juru bicara Altri, David M Sylvia, menganggap bahwa kenaikan pajak rokok itu tidak adil dan tidak efisien sebagai cara untuk membiayai kesehatan anak. Kendati ada sinyal positif dari Morris yang mendukung proposal ratifikasi perjanjian itu, ketimbang jika disandingkan dengan pebisnis rokok lainnya. Pembatasan pemasaran akan menahan 50 persen saham Philip Morris pasar domestik.

Obama sungguh akan menjadi sorotan. Kebijakan yang pasti akan merugikan industri rokok itu mestinya sesuai dengan komitmen Obama untuk benar-benar berhenti mengepul asap. Menjelang pelantikannya yang mahabesar itu, Obama akan didorong untuk menjadi eksekutor bagi regulasi tembakau di negerinya, bahkan menjadi lokomotif gerakan anti-tembakau era ini. Hingga dia, mungkin, bersenandung kembali menirukan nyanyi dan slogan Temperance Movement, akhir abad ke-19: I’ll never use tobacco, no/ It is a filthy weed / I’ll never put it in my mouth.

Meskipun tentu, Obama punya pilihan pribadi.

Dikutip sepenuhnya dari Koran Jakarta 18 Januari 2009

Seputar Larangan Merokok…, Iklan Rokok Ambigu

Seputar Larangan Merokok…, Iklan Rokok Ambigu

Oleh: Haryadi Baskoro

IKLAN rokok adalah iklan yang paling ambigu. Rokok selalu ditawarkan sebagai sesuatu yang paling hebat. Namun, pada saat yang sama, rokok diiklankan sebagai produk yang berbahaya. Di akhir iklan - baik di media massa cetak maupun elektronik - selalu ditulis: “Merokok dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi, dan gangguan kehamilan dan janin”.

Kenyataannya, peringatan keras bernada intimidatif namun objektif itu tidak pernah digubris. Hampir 1 milyar laki-laki di dunia ini merokok. Di negara-negara maju, kaum pria perokok jumlahnya 35 persen dari populasi. Di negara-negara berkembang besarnya 50 persen dari populasi. Setiap hari, 250 juta wanita di seluruh dunia asyik merokok. Di negara-negara maju, besarnya 22 persen dari populasi. Di negara berkembang, besarnya 9 persen dari populasi.

Menghentikan kebiasaan merokok adalah solusi untuk pengurangan angka kematian global. The Lancet, sebuah jurnal kesehatan di Inggris, menyatakan bahwa menurunkan jumlah perokok dunia hingga 20 persen sebelum tahun 2020 dapat menghindarkan 100 juta kematian akibat tembakau.

Indonesia Pro-Rokok?
Meskipun berbagai upaya pengurangan kebiasaan merokok dilakukan, masyarakat tetap saja merokok. Di Amerika Serikat, khususnya New York, telah dilakukan berbagai cara untuk menekan kebiasaan merokok. Walikota Michael Bloomberg dan Ketua Komisi Kesehatan Thomas Frieden melakukan usaha-usaha seperti menaikkan pajak, membatasi iklan, memperluas area bebas merokok, dan membantu terapi para pecandu rokok. Saat ini, harga sebungkus rokok di New York sudah lebih dari US $ 7 (sekitar Rp 63.000). Dengan berbagai kebijakan itu, jumlah perokok memang turun sampai 20 persen. Tetapi, para pendatang baru di dunia berasap ini tetap terus bertambah setiap harinya.

Bagaimana dengan Indonesia? Hasil riset menunjukkan bahwa dua per tiga perokok di seluruh dunia adalah mereka yang tinggal di 15 negara yang berpendapatan menengah ke bawah. Separuh dari mereka tinggal di negara-negara Cina, India, Rusia, Bangladesh, dan Indonesia. Kita masuk dalam 5 besar pengguna tembakau dunia.

Sepertinya, Indonesia kurang bersikap dan bertindak tegas soal rokok. Pertama, pemerintah tidak berusaha membatasi dengan meningkatkan cukai yang tinggi. Cukai rokok di Indonesia terendah di kawasan Selatan-Timur Asia. Padahal, di Thailand bisa 60 persen, di India 70 persen, bahkan 75 persen di Nepal, Maldives, dan Myanmar.

Kedua, tidak ada pembatasan yang signifikan untuk pengiklanan produk rokok. Di Indonesia, iklan rokok justru merebak di berbagai media massa cetak dan elektronik. Di tempat-tempat umum, dari kota sampai pelosok pedesaan, iklan rokok mudah dijumpai. Di India, tidak boleh ada iklan rokok di media massa cetak dan elektronik. Poster dan baliho iklan rokok juga tidak boleh dipasang di pinggir jalan-jalan raya.

Ketiga, Indonesia telah menunda-nunda untuk ikut meratifikasi Framework Convention on Tobacco (FCTC). Ini merupakan konvensi internasional untuk pengendalian tembakau. Sampai pada awal tahun 2006 saja, 168 negara dan seluruh negara di ASEAN sudah ikut meratifikasi.

Bagi Indonesia, masalah rokok memang dilematis. Di satu sisi, pemberantasan rokok sangat berarti untuk menyehatkan bangsa dan membangun generasi baru. Di sisi lain, kalau rokok dikontrol terlalu ketat, pendapatan pemerintah dari cukai rokok menurun, banyak orang kehilangan pekerjaan, dan ekonomi makro pun terguncang. Siapa mau mengganti pendapatan negara dari rokok yang lebih dari Rp 30 triliun itu?

Konsep Hidup
Melenyapkan rokok sama sekali dari dunia ini rasanya hampir tidak mungkin. Industri rokok sudah menjadi bagian dan bahkan pilar penyangga dari sistem ekonomi. Perusahaan-perusahaan rokok semakin hari semakin kuat. Di Amerika Serikat, perusahaan rokok setidaknya mengalokasikan US $ 50 per konsumen tiap tahun untuk kepentingan iklan dan pemasaran di seantero negeri. Kecuali itu, merokok sudah sedemikian membudaya dalam kehidupan masyarakat.

Sejarah mencatat berbagai usaha keras telah ditempuh untuk memberantas budaya merokok. Ketika Sir Walter Releigh memperkenalkan tembakau di Eropa, penolakan keras datang dari para pemuka agama, bangsawan, dan cendekiawan. Para pengguna tembakau dianiaya di Rusia, dibunuh di Turki, dan dipenjarakan di Switzerland. Paus Urban VIII menentang keras. Raja James I dari Inggris memproklamirkan bahwa tembakau itu jahat karena merusak kesehatan otak, paru-paru, dan mata.

Pada dasarnya, kebiasaan merokok tidak bisa dihentikan begitu saja. Merokok adalah sebuah gaya hidup. Ada alasan-alasan kompleks mengapa seseorang menjadi perokok. Faktor ketagihan dan kenikmatan bukan satu-satunya alasan. Karena itu, sangat tidak mudah untuk membujuk seseorang supaya berhenti merokok. Bahkan, sekalipun sudah jatuh sakit dan miskin, asap tembakau di mulut tetap terus mengepul.

Yang perlu dilakukan adalah penanaman nilai-nilai budaya sejak dini. Ini lebih dari sekedar pendidikan kesehatan dan pemberian pengetahuan tentang bahaya rokok. Ini harus merupakan penanaman filosofi kehidupan. Dulu, saat pertama kali orang Indian Huron mulai merokok, itu bukan karena ketagihan. Mereka merokok sebagai sebuah ritual untuk menghormati dewi kesuburan. Merokok adalah sebuah tindakan simbolik religius, bukan untuk merusak tubuh demi pemuasan hawa nafsu. Sekarang, rokok sudah diubah fungsinya untuk kenikmatan sesaat.

Sejak dini, anak-anak kita harus diajari tentang konsep kehidupan. Sebagai contoh adalah penanaman konsep bahwa tubuh adalah anugerah Tuhan. Merusak tubuh dengan cara apapun, meskipun itu menyenangkan, adalah dosa. Ketika filosofi ini tertanam kuat dan kemudian informasi ilmiah tentang bahaya merokok dibeberkan, anak-anak kita akan bisa mengambil keputusan untuk tidak merokok. Cara itu akan jauh lebih efektif daripada pemberian motivasi ekstrinsik dengan cara dipaksa-paksa, ditekan-tekan, dan diintimidasi ini dan itu. Sayangnya, pendidikan kita sekarang sering hanya bersifat pengetahuan (informatif) dan bukannya bersifat pembentukan watak dan kepribadian secara filosofis.

(Haryadi Baskoro SSos MA MHum, Pengamat, Peneliti, dan Penulis bidang Kebudayaan, tinggal di Yogyakarta).

Seputar Larangan Merokok..., Fatwa Larangan Merokok

Fatwa Larangan Merokok
Oleh: Mathub

Perhatikan data sebagai berikut: Angka kematian akibat rokok di Indonesia mencapai 427.923 jiwa/tahun. Berdasarkan hasil penelitian KPAI perokok aktif di Indonesia sekitar 141,4 juta orang. Dari 70 juta anak di Indonesia, 37 persen atau 25,9 juta anak diantaranya merokok. Sekitar 43 juta anak usia hingga 18 tahun terancam penyakit mematikan. Tahun 2006 konsumsi rokok di Indonesia 230 milyar batang atau sekitar Rp 184 trilyun/tahun. Untuk kepala keluarga dengan penghasilan Rp 1 juta/bulan dan pengeluaran rokok Rp 240 ribu/bulan, maka pengeluaran rokok mencapai 24% padahal banyak anak kekurangan gizi dan putus sekolah. Di bungkus rokok disebut bahwa merokok dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, gangguan kesehatan janin, dan impotensi.

Dari data di atas merokok merusak kesehatan (diri sendiri dan orang lain) dan pemborosan sehingga anak jadi kurang gizi dan putus sekolah. Oleh karena itu MUI harus mengeluarkan Fatwa Haram Merokok. Apalagi ulama di Saudi, Malaysia, dan Iran sudah mengharamkannya….


Artikel ini mendapat respon dari Sdr. Sutiman sbb:

Riset Komprehensif tentang Rokok Kretek Indonesia Sangat Perlu untuk penyelesaian kontroversi tentang rokok di Indonesia

Rasanya belum pernah terdengar ada studi tentang rokok Indonesia yang serius. Kebanyakan studi tentang rokok di Indonesia bersifat parsial, dan sangat disayangkan opini lebih banyak didasarkan pada hasil studi di luar negeri. Sesungguhnya memang budaya meneliti kita yang sangat minim sehingga kita tidak pernah atau sangat jarang mencoba menyelesaikan setiap problema kemasyarakatan dengan mendasarkan pada kajian yang kita lakukan sendiri. Berbagai isu dunia tentang rokok ada kemiripan dengan isu-isu lainnya seperti isu flu burung, terlalu cepat dipakai dan mendapat prioritas dalam perhatian pemerintah ketika menetapkan kebijakan. Kita mustinya tidak terlalu mudah untuk mengadopsi isu dari luar untuk menetapkan simpulan. Kita harus mememiliki kemandirian dalam bersikap dan dalam pengambilan keputusan-keputusan atas dasar kajian serius guna melihat ketepatannya dengan kondisi riil dengan mempertimbangkan spesifikasi masalahnya. Sekali lagi ditekankan di sini marilah kita jangan mudah melakukan serta merta menggeneralisir isu-isu yang bertiup dari luar negeri sebagai isu penting kita. Seperti halnya isu rokok di Indonesia, mengapa kita tidak pernah mencoba melakukan kajian komprehensif untuk benar-benar melihat dampak rokok kretek yang sangat khas rokok Indonesia?

Studi tentang rokok Indonesia memang ada, namun studi yang ada bersifat terlalu parsial untuk ukuran besaran dampak masalahnya, dan studi yang selama ini ada semuanya dengan ukuran sampel kecil dan tidak terkoordinasi maupun terprogram secara nasional. Sebagai suatu isu yang melibatkan nasib puluhan juta orang dan asset ratusan triliun rupiah, studi komprehensif tentang rokok Indonesia seharusnya diberlakukan sebagai program nasional. Survei dampak positip dan negatip merokok perlu dilakukan dengan sampel (responden) ukuran puluhan ribu orang dengan sebaran yang mencakup sebagian besar etnik di Indonesia. Kajian harus komprehensif di lingkup aspek kesehatan, psikologi, sosial, dan ekonomi. Bila belum ada hal semacam ini rasanya agak naïf bila sudah ada kebijakan yang dikeluarkan. Perdebatan tentang rokok akan hanya jadi debat kusir tanpa dukungan fakta dan simpulan studi yang valid dan dapat dipertanggung-jawabkan.

Perlu dicatat bahwa jenis rokok Indonesia bersifat khas, dan barangkali berbeda dengan rokok asing yag sudah banyak diteliti di luar negeri. Rokok kita banyak menggunakan bahan alam namun juga ada yang menggunakan bahan-bahan penyedap sintetis sangat berbeda dengan rokok di Amerika atau di dunia pada umumnya. Mustinya setiap pabrik rokok memiliki Pusat Riset bagi setiap produknya. Setiap produsen rokok mustinya harus menyajikan dokumentasi dan informasi valid dampak setiap produknya di masyarakat dan bukannya sekedar menyantumkan peringatan bahaya merokok. Di sisi inilah mustinya pabrik rokok di dorong untuk melakukan penelitian inovatif untuk membuat rokok lebih aman dan bila perlu justru membuat rokok yang menyehatkan. Hal semacam ini tidak tertutup kemungkinannya dengan perkembangan keilmuan saat ini. Konsep-konsep baru tentang Biologi Nano (Nano technology) rasanya dapat digunakan, sekali gus membuat pabrik rokok mampu mengangkat Indonesia dalam pengembangan konsep dan ide-ide Ilmiah baru.

Sutiman B. Sumitro (bukan perokok)
Guru Besar Biologi Molekuler Sel,
Universitas Brawijaya dan Dekan Fakultas sain
dan Teknologi Universitas Islam Negeri (UIN) Malang.