Lokasi Pengunjung Blog

Rabu, 07 Oktober 2009

PIPES SHAPE



Ada beragam model pipa cangklong, diantaranya:

Minggu, 02 Agustus 2009

Pipa cangklong Meerschaum



Pipa cangklong, itu lho pipa rokok yang bentuk umumnya melengkung kayak saxophone, kini sudah jadi barang antik, lawas dan jadul. Ya, kegiatan “nyangklong” sudah lama tak terlihat lagi, tergusur oleh keberadaan rokok sigaret, rokok praktis siap sulut. Namun, meskipun kegiatan nyangklongnya sudah tidak ada, piranti cangklongnya masih bisa kita buru dan kita temukan. Dan tentu saja pipa2 cangklong itu sudah berusia uzur, seperti misalnya pipa cangklong yang dibuat dari kayu briar berwarna coklat seperti dalam foto itu. (Pipa cangklong kayu briar populer antara tahun 1850 hingga tahun 1950 an).

Yang lebih tua lagi adalah cangklong yang satunya, yang difoto nampak berwarna putih. Cangklong putih itu dibuat dari “batu” meerschaum alias hydrous magnesium silicate, atau H4Mg2Si3O10, yang terbentuk dari fosil kerang laut di jaman pra sejarah. Pipa cangklong meerschaum itu pernah ngetrend di tahun 1750 sampai tahun 1850, sebelum kemudian digantikan oleh pipa kayu briar. Tambang meerschaum yang terkenal selain di Turki juga ada di Tanzania. Dan pipa cangklong batu putih meerschaum yang difoto itu berasal dari Tanzania. Modelnya unik, sangat alami.

Gitu deh…

Kamis, 23 Juli 2009

THE CLAY PIPE



The 17th Century clay pipe had a very small bowl as Tobacco at that time was a luxury item as tea was when first introduced at almost the same time to Europe and the colonies. In the Elizabethan times clays were quite delicate with graceful thin bowls and long stems. The Dutch redesigned these clays by enlarging the bowl and lengthened the stem. These new pipes came to be known as the Alderman and were introduced by William II around 1700. The Alderman was hastily adopted by the English. This style was graced with a curve to the stem and called "Yard of Clay" or "Churchwarden" as it is still known to this day. By the 18th Century these pipes with larger bowls, the classic long stemmed Alderman or "Tavern Pipes" were among the most common style being made. The working classes, however often preferred a shorter clay.

With time, both the style and the material of pipes changed. In the 16th, 17th, and 18th centuries, clay pipes dominated the scene. Meerschaum, a form of mined clay made of hydrated magnesium silicate, was introduced from Asia Minor, but this material was very fragile and used by only the very wealthiest of smokers.

It was not until the 1850’s, with the influence of Spanish cigars and a sturdier briar pipe that the clay pipe’s popularity began to wan a bit. By this point, the clay pipe was considered appropriate only for the working class. This was by no means the end of the manufacture of clay pipes but now they began to see competition for the first time. A fancy pipe of Briar maybe even with fittings of sterling silver or gold could show ones stature just as a gold pocket watch could. Elaborate cases and other detailing made the personal pipe a treasure. Victorian tastes made a more sophisticated looking pipe a must.

By the 19th Century, Scotland and Ireland were the primary exporters of clay pipes from the UK. During the time of the great famine when waves of Irish and Scots were immigrating to the new world, these pipes had already acquired nicknames. They were often thought to always have a dhudeen, or short-stemmed clay pipe, in their mouths. Also, the Scottish/Irish styles were very recognizable. Dublins and Derries were two common shapes. African-Americans were often seen smoking white clay pipes later dubbed “Negro Pipes" or worse "Nigger Pipes”!

The 19th Century saw hundreds of designs manufactured. Pipes with figures, animals, and all sorts of emblems became common. Delightful and imaginative pipes of every description were being made from molds in Germany, Holland, and the USA as well as the UK the pipe making center of the 19th Century. To some extent racial stereotyping helped the clay pipe fall from favor despite the fact that a cool smoking clay is a superior smoke to almost any expensive briar or even some Meerschaum pipes. Cruel cartoons of Irish drunks and monkey-faced Black people appeared in periodicals like Harpers, and the London Daily News depicting the lowest classes as tobacco fiends and boozers.

By Beth Maxwell Boyle

THE PIPE TIMELINE


100 A.D. - Evidence shows Mayan civilization in Mexico was using pipes to smoke.

1500s - Tobacco and pipe smoking introduced to Europe.

- Sir Walter Raleigh popularizes the clay pipe in England.

1750s - Meerschaum, found in central Europe, is discovered to be an excellent material for pipe bowls.

1840 (Circa) - Francois Comoy begins carving pipes out of briar in Saint-Claude, France. Briar was revolutionary because it enabled the smoker to hold the bowl in their hand, which was impossible to do with clay pipes. Additionally, briar possessed a natural beauty and grain that clay could not.

1850s - The French begin producing wooden pipes with porcelain and clay bowl liners; a style of pipe which is still made today.

1860 (Circa) - Briar pipes become the standard throughout Europe for pipe tobacco lovers.

1868 - Henry Tibbe founded The Missouri Meerschaum Company (USA) which is still the largest producer of corncob pipes in the world.

1920s - Pipe smoking begins catching on in America as a sophisticated pastime. Until now, pipe shops were virtually non-existent in the U.S.: Tobacconists were primarily focused on cigars.

1950s - In America, pipe smoking becomes the symbol of sophistication and a re-assuring cultural icon: in part, thanks to movies, magazines, and marketing.

Today -

“Today, with over 10 million pipe smokers in America alone, the symbol of the pipe still provides an image of stability and in fact, is stronger than ever before due to a constant closing in and fear of the technological world around us. The pipe remains standing as a bastion of individuality and security. With the advent of computers, laser beams, and dehumanizing robots and words like “artificial intelligence,” “petrodollars,” and “megapollution,” mankind’s natural instinct is to seek solace and retain a sense of self-esteem by returning to the very basics of life. The pipe provides much of this. It is a trusted friend, a “working” companion and a symbol of all that is right and orderly in the world.”

-Richard Carleton Hacker
The Ultimate Pipe Book
Page 34 © 1997

Selasa, 07 Juli 2009

BISNIS YUK. Pipa Filter Sigaret, solusi smart merokok sehat



Salah seorang sahabat pena, menulis: “Ayahku meninggal karena kanker disebabkan oleh kegemarannya minum rokok”. Tulisan itu telah merangsang saya untuk kemudian memikirkan adakah cara minum rokok yang aman? Dan untuk menemukan jawabannya, saya gelar beberapa informasi, data dan fakta yang terkait seperti dapat kita pelajari bersama di bawah ini. Dan ternyata dari info yang secuil itu kita sudah bisa menemukan apa yang kita cari, yaitu solusi untuk merokok dengan lebih safe, lebih aman.

Jampi stress dan bikin rilek, itulah antara lain alasan untuk tetap merokok yang kerap terlontar dari bibir para perokok. Walau dihadapkan dengan 1001 macam bahayanya, tetap saja perokok klepas klepus…, ngrokok. Dan kitapun perlu memaklumi, karena bagi yang kadung cinta rokok, tentulah tidak mudah untuk menceraikannya, untuk berhenti merokok.

Kita bisa memaklumi alasan para perokok, namun dibalik itu muncul keprihatinan yang mendalam, terutama kalau melihat cara perokok Indonesia merokok rokok kretek yang dibuat secara manual dan tradisional, yakni tanpa dipasangi filter. Bagaimana tidak, batang rokok2 kretek itu langsung diselipkan dibibir, disulut dan diisap begitu saja…, sap sap saaaap. Ya, rokok kretek non filter, rokok kretek tanpa filter penyaring tar itu diisap dalam2 dengan penuh semangat, saban hari sejak dulu hingga nanti.

Tar atau biasa juga disebut “lelet” itu sendiri merupakan substansi hidrokarbon yang bersifat lengket dan bisa menempel dimana mana termasuk diparu-paru dan bisa bikin penyakit ini dan itu. Dengan mudah kita bisa melihat seperti apa rupa tar itu. Jari2 tangan perokok yang menguning semu coklat, gigi yang menguning, lidah yang kecoklatan dan bibir yang tidak lagi berwarna segar tapi berwarna sawo bosok, itu semua adalah gara2 tar. Dan pada tar itulah terutama terkandung bahaya besar dari rokok. Itu kata para dokter yang memang terkenal pinter2.

Tapi lain kata dokter lain pula kata perokok Indonesia. Bagi sebagian perokok Indonesia justru tar atau lelet itulah yang dianggap dan dipandang sebagai sari nikmatnya rokok, menjadi sebangsa candunya rokok. Ini tidak bohong, pendapat seperti ini saya dengar langsung dari beberapa perokok kretek. “Rokok telanjang beginian enak mas. Kalau pakai filter jadi kurang berasa, kurang mantab gitu loh…” kata mereka.

Padahal di negara maju, seperti di Amerika dan Eropa misalnya, semua perokok sudah biasa merokok dengan menggunakan filter pengaman. Mereka melakukannya sudah sejak 60 tahun lalu. Dengan memakai filter, mereka merasa lebih aman untuk merokok karena sebagian besar tar yang berbahaya bagi kesehatan itu bisa tersaring. Dan tentang filter itu mereka punya pengalaman serta kesaksian: ”Filter, cut the tar…, keep the taste” Atau juga:”Reduce tar without reducing taste”. Ya, mereka telah membuktikan bahwa filter rokok berhasil berfungsi memerangkap sebagian besar tar tapi tidak terlalu mempengaruhi aroma dan rasa rokok.

Tak bisa dibantah, rokok kretek memang terkenal di Indonesia, banyak sekali penggemarnya. Dan rokok kretek ini di produksi oleh pabrik2 rokok berskala raksasa.. Ya, mereka memproduksi rokok jenis ini yang dikenal pula dengan julukan Sigaret Kretek Tangan atau SKT, maksudnya sigaret kretek yang dibuat bukan oleh mesin pelinting otomatis melainkan oleh tangan para buruh linting. Industri SKT ini merupakan industri padat karya, menyediakan lapangan pekerjaan bagi jutaan tenaga kerja Indonesia, sehingga dipelihara dan juga dimanja oleh pemerintah. Sayangnya, sigaret kretek tangan ini, entah karena alasan apa, dibuat tak berfilter alias non filter. Dan dengan kekuatan iklannya, perusahaan2 besar itu mempersilahkan jutaan penggemarnya untuk mengkonsumsinya…, begitu saja. Ini membuat kesan bahwa para produsen rokok itu, yang kini pemiliknya menjadi orang2 terkaya, sungguh2 tidak peduli atas keamanan produknya dan tidak peduli pada kesehatan konsumennya. Dipikirnya, dengan memasang kolom peringatan akan bahayanya merokok, itu saja sudah cukup. Dan kita yang mengamati hal itu menjadi sebal: “Ini apa2 an? Emangnya tidak ada cara bagaimana membuat produk rokok kretek yang meskipun dibuat tak berfilter namun tetap aman untuk dirokok?”

Ah, sudahlah barangkali mereka kelewat sibuk menghitung laba. Dan kalau mereka enggan memikirkannya, ya kita sajalah yang mencoba mencari solusi, mencari jalan bagaimana caranya agar rokok dan merokok itu bisa lebih aman. Gitu aja kok repot…

Dan inilah hasil pemikiran yang semoga dapat menjadi solusi.
Menurut saya, sigaret kretek non filter buatan tangan itu akan lebih aman dikonsumsi jika perokok menggunakan PIPA SIGARET FILTER HOLDER atau sebut saja PIPA SIGARET, atau SIGARET HOLDER, atau SIGARET FILTER HOLDER atau FILTER HOLDER.

Benda itu bukan benda asing bagi saya. Selama ini Pipa Sigaret atau Sigaret Filter Holder itu (modelnya seperti dalam gambar), sudah saya kenal, bahkan juga sudah saya pasarkan lewat Kedai Mbako Tingwe, namun masih dalam kategori sebagai asesoris rokok saja.

Tapi sekarang, setelah mengenal dengan lebih baik duduk perkaranya, saya harus katakan bahwa SIGARET FILTER HOLDER itu bukan lagi sekedar asesoris rokok belaka melainkan sudah harus menjadi “Barang Kebutuhan Pokok Bagi Perokok!” Dan sama halnya dengan seseorang yang kecanduan rokok, tidak bisa lepas dari rokok, Sigaret Filter Holder inipun harus bisa menjadi sahabat setia bagi para penggemar rokok Indonesia.

Memang sih, bukan soal mudah untuk dapat mensosialisasikan penggunaan Sigaret Filter Holder ini, namun tetap saja saya terpanggil untuk melakukannya sebagai bentuk kepedulian terhadap sesama rekan perokok.

Dan siapa yang nyana, ternyata dibalik kata “kepedulian” itu tersembunyi pula “potensi bisnis Sigaret Filter Holder”. Ya, bisnis Sigaret Filter Holder ini sangat potensial untuk dapat dikembangkan menjadi sangat besar, yaitu ketika semua perokok atau sebagian besar perokok sudah bersedia menggunakannya demi keamanan merokok.

Jadi…, ayo kita garap mulai sekarang juga! Mau ikutan program “safe smoking” sembari berbisnis? Silahkan kontak saya, Dimas Anto di: 021 8411717 atau Hp 085692330090.

Gitu deh…
(Setelah hadir “Kedai Mbako Tingwe” untuk solusi merokok hemat atau save smoking, segera bakal dihadirkan “RUMAH PIPA FILTER SIGARET” untuk solusi merokok aman atau safe smoking. Begitulah kira2…).

Kamis, 18 Juni 2009

BISNIS YUK. Dengan 6 juta rupiah sudah bisa punya bisnis ngebul

Orang Jawa umumnya tahu istilah “tingwe”. Kependekan dari linting dewe. Maksudnya melinting sendiri. Ini untuk menggambarkan kegiatan para perokok yang melinting sendiri tembakau untuk kemudian diisap. Seperti yang dilakukan oleh orang-orang jaman dulu tatkala rokok kemasan seperti jaman sekarang belum jadi industri.

Sejak beberapa tahun belakangan, tembakau untuk keperluan tingwe ini mulai marak dijajakan di berbagai kota di Jawa. Penggemarnya bukan saja kalangan orang-orang tua, tapi juga anak-anak muda. Yang dicari agaknya adalah sensasi meramu sendiri tembakau itu. Plus keasyikan melintingnya menjadi bentuk yang benar-benar personalized, sesuai dengan keinginan si individu. Ditambah lagi sebagai semacam nostalgia ke masa lalu.

Dan kini di Jakarta warung atau kedai yang menjajakan tembakau “tingwe” pun dapat ditemukan. Salah satunya adalah “KEDAI TEMBAKAU TINGWE ANEKA RASA” atau "KEDAI MBAKO TINGWE" yang kita garap sendiri sejak beberapa tahun lalu, Kedai Tembakau Tingwe Aneka Rasa menjual produk: “Mbako Tingwe” , yaitu Tembakau Rokok Aneka Rasa, Alat Linting, Kertas Rokok, Filter, serta Aneka Asesoris seperti Dompet Rokok, Pipa Rokok Berfilter, Korek Api dsb.

Yang unik dari Kedai Tembakau Tingwe Aneka Rasa ini adalah tema kampanye pemasarannya. Kita tidak memilih mereklamekan sensasi melinting sendiri itu sebagai yang utama, melainkan harganya yang murah meriahlah yang kita tonjolkan. Mengapa begitu? Ya, mengingat sekarang ini jaman prihatin. Harga-harga naik, daya beli menurun. Keuangan keluarga harus dihemat. Sementara kebutuhan merokok tidak mungkin distop. Nah, tingwe bisa jadi solusinya. Bisa hemat sampai 60%.

Ini bukan bohong lho. Bayangkanlah. Harga rokok tingwe yang kita tawarkan berkisar dari Rp 13 ribu per 60 batang hingga Rp. 15 ribu per 60 batang atau rata-rata Rp 200 per batang hingga Rp 250 per batang. Bandingkan dengan harga standar rokok kemasan yang umumnya sudah dua kali atau bahkan tiga kali lebih mahal.

Mungkin ada yang bertanya. Ini kan rokok lintingan sendiri. Kok hitungannya per batang?
Memang. Produk Mbako Tingwe yang dijual di Kedai Tembakau Tingwe kita dipaket sedemikian rupa sehingga dalam satu paket, konsumen sudah mendapatkan alat linting, kertas rokok atau papir, filter, lem dan tembakau. Kalau belum bisa melinting sendiri, kita akan mengajarkannya. Kalau belum bisa juga, kita sediakan juga rokok yang sudah “jadi”.

Ada aneka rasa tembakau yang kita jual. Aneka rasa itu tidak berbeda jauh dengan rokok-rokok merek populer masa kini. Sebab, produk-produk Mbako Tingwe, tembakau rokok aneka rasa ini memang dihasilkan oleh produsen rokok dan peracik berpengalaman dari berbagai daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Kertas rokoknya sendiri nyaris persis dengan rokok-rokok kemasan populer, baik yang kretek maupun non kretek. Jadi jangan heran apabila nama-nama produk Mbako Tingwe ini bermiripan juga dengan merek rokok ternama. Misalnya ada yang kita namai Margono (plesetan dari Marlboro), Samsuri dan Samsul (plesetan dari Dji Sam Soe), Mail (plesetan dari Mild), Supri, Gafur, dan sebagainya. Produk kita bagi menjadi dua kelas, yakni B, dengan harga rata-rata Rp 13.000,- per 60 batang dan kelas A dengan rata-rata Rp 15 ribu per 60 batang. Sedangkan untuk tembakau rokok isi ulang – maksudnya tanpa alat linting – harganya Rp 8.000,- dan Rp 10.000,- per 60 batang.

ONGKOS DIPANGKAS
Menurut data, dari tahun ke tahun permintaan rokok di Indonesia terus meningkat. Tahun 1985, permintaan rokok baru 100 miliar batang. Pada tahun 2005 sudah menjadi 220 miliar batang. Dan perokok pemula di Indonesia tumbuh paling pesat sedunia yakni 44% usia 10 – 19 tahun dan 37% usia 20 – 29 tahun. Bisnis rokok pun meraksasa. Tetapi harganya pun turut naik seiring dengan makin banyaknya beban yang ditanggung produsennya; mulai dari biaya iklan, merek, distribusi, hingga cukai.

Dengan demikian, rokok tingwe jadi alternative karena menjanjikan penghematan besar. Dari sisi konsumen, harganya jelas jauh lebih murah, sementara rasa dan modelnya tak jauh berbeda dengan rokok kemasan. Dari sudut produsen, tembakau untuk tingwe ini bisa hadir dengan harga miring karena aneka biaya sudah dipangkas. Mulai dari ongkos linting, biaya overhead pabrik, biaya kemasan, biaya iklan, biaya distribusi, biaya administrasi, biaya umum dan lain-lain. Perjalanan tembakaupun dipersingkat. Setelah tembakau diracik dan dikenakan cukai, tembakau tidak dilinting, dikemas dan diedarkan oleh pabrik rokok, tapi langsung dihadirkan ke konsumen untuk dilinting sendiri antara lain melalui Kedai Tembakau Tingwe Aneka Rasa.

Lagi pula, membuat rokok tingwe itu sangat gampang. Modalnya tembakau, papir, filter, lem dan alat linting. Dengan berlatih beberapa kali, hasilnya tidak kalah dengan lintingan pabrik. Sementara rasa dan modelnya bisa diatur sesuai selera, malah bisa pakai filter juga.

Kedai tembakau yang kita kembangkan berupa warung atau kedai tempat kongkow-kongkow. Ada tersedia tempat duduk dan meja, plus aneka asesori yang berhubungan dengan rokok. Misalnya, di Kedai Tembakau Tingwe Aneka Rasa dijual juga dompet rokok, pipa rokok berfilter dan lain-lain. Selama ini omzetnya lumayan. Penjualan yang terutama memang dari Tingwe, tetapi penjualan asesoris juga cukup signifikan.

PELUANG KERJASAMA…, NANTI
Kita yakin bahwa harga-harga kebutuhan akan terus meningkat sementara kebutuhan akan rokok tak mungkin dinomorduakan, khususnya oleh para perokok. Kita juga yakin bahwa produk rokok tingwe akan makin jadi alternative di masa depan. Untuk itu pada saatnya nanti kita akan membuka peluang kerjasama bagi investor yang berminat.

Dengan investasi awal Rp 6 jutaan, seorang investor sudah bisa mengoperasikan Kedai Tembakau Tingwe nya, lengkap dengan produk tembakaunya. Praktis sang investor hanya menyediakan tempat dan sedikit renovasi interior agar sesuai dengan tema utama Kedai Tembakau Tingwe Aneka Rasa. Sementara tembakaunya sendiri akan kita datangkan. Kita menyediakan diskon yang cukup sehingga cabang mendapatkan margin yang menguntungkan. Tapi itu nanti…

Sekarang silahkan mampir dulu ke Kedai MBAKO TINGWE. Nikmati hematnya, nikmati sensasinya merokok tingwe. Alamatnya di: Jalan Raya Tengah, seberang Gang Antariksa, kampung Gedong, Pasarrebo, Jakarta Timur. Telpon: Dimas Anto 021 8411717.

Gitu deh…

(Sumber tulisan: Liputan tentang kedai Mbako Tingwe di Majalah "DUIT").

Kamis, 28 Mei 2009

Lho...?

Orang sudah banyak membaca peringatan mengenai bahayanya merokok, sehingga mereka memutuskan untuk..., berhenti "membaca"!!!.

Lho...?