Lokasi Pengunjung Blog

Kamis, 07 Mei 2009

Seputar Larangan Merokok…, Anak-anak, Merokoklah!

Oleh: Seto Mulyadi
Sumber: http://www.kompas.com

Jangan kaget! Ini adalah seruan lantang industri rokok kepada anak-anak dan remaja kita.

Sayang, banyak orangtua tampaknya masih terlelap dan tidak sadar. Tahu-tahu, jutaan anak kita telah tercemar asap tembakau dan akan menjadi perokok aktif di masa depan. Dengan sistematis, industri rokok mengajak jutaan anak untuk sejak dini mulai gemar merokok.

Coba lihat iklan-iklan rokok di mana-mana, seolah tidak ada lagi ruang kosong yang ramah anak dan bebas dari dominasi iklan rokok. Mulai dari billboard, spanduk, umbul-umbul, iklan di media cetak ataupun elektronik, kaset atau film sampai ke seminar-seminar pendidikan pun tak luput dari promosi rokok.

Materi iklan pun menunjukkan segmentasi pasar yang dibidik. Bahwa merokok adalah baik. Merokok identik dengan nikmat, berani, macho, trendi, kebersamaan, santai, optimistis, penuh petualangan, kreatif, dan segudang istilah lain lagi yang membanggakan.

Tidak tanggung-tanggung, idola remaja—penyanyi, grup musik, atau para tokoh yang memenuhi selera pasar konsumen— dilibatkan sebagai model.

Industri rokok paham teori psikologi perkembangan anak bahwa—menurut teori perkembangan psikososial Erik Erikson—remaja sedang pada tahap the sense of identity, tahap mencari identitas, termasuk meniru dan mengikuti perilaku model yang menjadi idolanya. Dengan “serangan” iklan dan menampilkan identitas yang dicari remaja, otomatis mereka larut dalam pengaruh iklan, merasa lebih hebat dengan merokok.

Metode komunikasi persuasif yang digunakan pun memakai classical conditioning, yaitu mengubah sikap dengan mengondisikan antara perasaan positif dan benda yang diiklankan. Remaja pun tergiur saat disuguhi pesan-pesan seperti “Apa Obsesimu?”, “X-presikan Aksimu!”, dan “U are U!”.

Bahan adiktif
Kalangan industri rokok sering berkilah, iklan rokok tidak akan menimbulkan perokok baru, tetapi hanya menjaga agar perokok aktif tetap mengonsumsi produksinya atau agar tidak pindah ke merek lain. Namun, kenyataannya iklan rokok telah menjebak ratusan ribu anak dan remaja untuk mulai mencoba merokok, lalu menjadi pengguna tetap yang aktif.

Mereka menutup mata terhadap kenyataan bahwa mengiklankan rokok sama dengan mempromosikan bahan adiktif terhadap anak-anak. Saat merokok, mereka akan mengisap sekitar 4.000 racun kimia dengan tiga komponen utama yang berbahaya, yaitu nikotin, tar, dan karbon monoksida.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan, tembakau membunuh lebih dari lima juta orang per tahun, dan diproyeksikan akan membunuh 10 juta sampai tahun 2020. Dari jumlah itu, 70 persen korban berasal dari negara berkembang.

Lembaga Demografi UI mencatat, angka kematian akibat penyakit yang disebabkan rokok tahun 2004 adalah 427.948 jiwa, berarti 1.172 jiwa per hari atau sekitar 22,5 persen dari total kematian di Indonesia.

Remaja akan tetap menjadi sasaran utama untuk menggantikan perokok senior yang memiliki ketergantungan tinggi terhadap rokok, yang konon sekitar 30 juta akan wafat karena penyakit yang berhubungan dengan tembakau.

Coba simak laporan perusahaan rokok di AS, Philip Morris (1981), “Remaja hari ini adalah pelanggan tetap yang potensial untuk hari esok! Pola merokok remaja amat penting bagi Philip Morris….”

Hak anak
Melalui Sidang Ke-56 WHO, 192 negara anggotanya telah mengadopsi Kerangka Kerja Konvensi Pengendalian Tembakau (Framework Convention on Tobacco Control/FCTC) untuk melindungi generasi muda dari kerusakan kesehatan dan asap tembakau. Pasal 13 FCTC mensyaratkan negara anggota untuk melaksanakan larangan total terhadap segala jenis iklan, pemberian sponsor dan promosi produk tembakau, baik secara langsung maupun tidak dalam kurun waktu lima tahun setelah meratifikasi konvensi.

Sayang, Indonesia merupakan satu-satunya negara di Asia Pasifik yang belum meratifikasi konvensi ini dan belum memiliki undang-undang yang mengatur dampak bahaya tembakau, sementara Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran tetap mengizinkan iklan rokok di media elektronik dengan berbagai bentuknya.

Ketika kita semua tahu bahwa rokok ialah zat adiktif dan merupakan salah satu pembunuh hak hidup anak, pemerintah tampaknya belum tegas dalam melindungi anak dari bahaya tembakau. Padahal UU No 23/2002 tentang Perlindungan Anak menyatakan, pemerintah wajib dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak termasuk yang menjadi korban zat adiktif (Pasal 59). Pasal 89 Ayat 2 menegaskan, “Setiap orang yang dengan sengaja menempatkan, membiarkan, menyuruh melibatkan anak dalam penyalahgunaan, produksi atau distribusi alkohol dan zat adiktif lainnya dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun….”

Bagaimana nasib RUU Pengendalian Dampak Rokok dan Tembakau yang konon sudah disetujui 41 persen anggota DPR?

Badan POM mencatat 14.249 iklan rokok tersebar di media elektronik (9.230), media luar ruangan (3.239), dan media cetak (1.780). Hingga kini, tanpa kendala, iklan rokok terus mempromosikan bahan yang sarat pelanggaran hak anak, baik hak hidup, hak tumbuh dan berkembang, maupun hak untuk memperoleh perlindungan.

Kongres Anak Indonesia sebagai pemenuhan hak partisipasi anak tahun lalu telah mendesak pemerintah untuk membatasi iklan rokok di media massa sebagai bagian dari bentuk kekerasan terhadap anak.

Akankah kita terus membiarkan tingkah pembunuh berwajah santun berkeliaran di mana-mana menghiasi ruang-ruang publik kita? Lupakah kita kepada kesepakatan yang dicanangkan Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 2002 untuk menciptakan a world fit for children?

Tampaknya kita semua harus jujur untuk berani mengakui bahwa kita belum siap untuk memenuhi hak anak, agar nantinya mereka bisa berkata, “Tubuhku sehat, jiwaku kuat, siap menjadi pemimpin masa depan!”

(Seto Mulyadi Ketua Komnas Perlindungan Anak)

Tidak ada komentar: