Lokasi Pengunjung Blog

Kamis, 07 Mei 2009

Seputar Larangan Merokok…, Iklan Rokok Ambigu

Seputar Larangan Merokok…, Iklan Rokok Ambigu

Oleh: Haryadi Baskoro

IKLAN rokok adalah iklan yang paling ambigu. Rokok selalu ditawarkan sebagai sesuatu yang paling hebat. Namun, pada saat yang sama, rokok diiklankan sebagai produk yang berbahaya. Di akhir iklan - baik di media massa cetak maupun elektronik - selalu ditulis: “Merokok dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi, dan gangguan kehamilan dan janin”.

Kenyataannya, peringatan keras bernada intimidatif namun objektif itu tidak pernah digubris. Hampir 1 milyar laki-laki di dunia ini merokok. Di negara-negara maju, kaum pria perokok jumlahnya 35 persen dari populasi. Di negara-negara berkembang besarnya 50 persen dari populasi. Setiap hari, 250 juta wanita di seluruh dunia asyik merokok. Di negara-negara maju, besarnya 22 persen dari populasi. Di negara berkembang, besarnya 9 persen dari populasi.

Menghentikan kebiasaan merokok adalah solusi untuk pengurangan angka kematian global. The Lancet, sebuah jurnal kesehatan di Inggris, menyatakan bahwa menurunkan jumlah perokok dunia hingga 20 persen sebelum tahun 2020 dapat menghindarkan 100 juta kematian akibat tembakau.

Indonesia Pro-Rokok?
Meskipun berbagai upaya pengurangan kebiasaan merokok dilakukan, masyarakat tetap saja merokok. Di Amerika Serikat, khususnya New York, telah dilakukan berbagai cara untuk menekan kebiasaan merokok. Walikota Michael Bloomberg dan Ketua Komisi Kesehatan Thomas Frieden melakukan usaha-usaha seperti menaikkan pajak, membatasi iklan, memperluas area bebas merokok, dan membantu terapi para pecandu rokok. Saat ini, harga sebungkus rokok di New York sudah lebih dari US $ 7 (sekitar Rp 63.000). Dengan berbagai kebijakan itu, jumlah perokok memang turun sampai 20 persen. Tetapi, para pendatang baru di dunia berasap ini tetap terus bertambah setiap harinya.

Bagaimana dengan Indonesia? Hasil riset menunjukkan bahwa dua per tiga perokok di seluruh dunia adalah mereka yang tinggal di 15 negara yang berpendapatan menengah ke bawah. Separuh dari mereka tinggal di negara-negara Cina, India, Rusia, Bangladesh, dan Indonesia. Kita masuk dalam 5 besar pengguna tembakau dunia.

Sepertinya, Indonesia kurang bersikap dan bertindak tegas soal rokok. Pertama, pemerintah tidak berusaha membatasi dengan meningkatkan cukai yang tinggi. Cukai rokok di Indonesia terendah di kawasan Selatan-Timur Asia. Padahal, di Thailand bisa 60 persen, di India 70 persen, bahkan 75 persen di Nepal, Maldives, dan Myanmar.

Kedua, tidak ada pembatasan yang signifikan untuk pengiklanan produk rokok. Di Indonesia, iklan rokok justru merebak di berbagai media massa cetak dan elektronik. Di tempat-tempat umum, dari kota sampai pelosok pedesaan, iklan rokok mudah dijumpai. Di India, tidak boleh ada iklan rokok di media massa cetak dan elektronik. Poster dan baliho iklan rokok juga tidak boleh dipasang di pinggir jalan-jalan raya.

Ketiga, Indonesia telah menunda-nunda untuk ikut meratifikasi Framework Convention on Tobacco (FCTC). Ini merupakan konvensi internasional untuk pengendalian tembakau. Sampai pada awal tahun 2006 saja, 168 negara dan seluruh negara di ASEAN sudah ikut meratifikasi.

Bagi Indonesia, masalah rokok memang dilematis. Di satu sisi, pemberantasan rokok sangat berarti untuk menyehatkan bangsa dan membangun generasi baru. Di sisi lain, kalau rokok dikontrol terlalu ketat, pendapatan pemerintah dari cukai rokok menurun, banyak orang kehilangan pekerjaan, dan ekonomi makro pun terguncang. Siapa mau mengganti pendapatan negara dari rokok yang lebih dari Rp 30 triliun itu?

Konsep Hidup
Melenyapkan rokok sama sekali dari dunia ini rasanya hampir tidak mungkin. Industri rokok sudah menjadi bagian dan bahkan pilar penyangga dari sistem ekonomi. Perusahaan-perusahaan rokok semakin hari semakin kuat. Di Amerika Serikat, perusahaan rokok setidaknya mengalokasikan US $ 50 per konsumen tiap tahun untuk kepentingan iklan dan pemasaran di seantero negeri. Kecuali itu, merokok sudah sedemikian membudaya dalam kehidupan masyarakat.

Sejarah mencatat berbagai usaha keras telah ditempuh untuk memberantas budaya merokok. Ketika Sir Walter Releigh memperkenalkan tembakau di Eropa, penolakan keras datang dari para pemuka agama, bangsawan, dan cendekiawan. Para pengguna tembakau dianiaya di Rusia, dibunuh di Turki, dan dipenjarakan di Switzerland. Paus Urban VIII menentang keras. Raja James I dari Inggris memproklamirkan bahwa tembakau itu jahat karena merusak kesehatan otak, paru-paru, dan mata.

Pada dasarnya, kebiasaan merokok tidak bisa dihentikan begitu saja. Merokok adalah sebuah gaya hidup. Ada alasan-alasan kompleks mengapa seseorang menjadi perokok. Faktor ketagihan dan kenikmatan bukan satu-satunya alasan. Karena itu, sangat tidak mudah untuk membujuk seseorang supaya berhenti merokok. Bahkan, sekalipun sudah jatuh sakit dan miskin, asap tembakau di mulut tetap terus mengepul.

Yang perlu dilakukan adalah penanaman nilai-nilai budaya sejak dini. Ini lebih dari sekedar pendidikan kesehatan dan pemberian pengetahuan tentang bahaya rokok. Ini harus merupakan penanaman filosofi kehidupan. Dulu, saat pertama kali orang Indian Huron mulai merokok, itu bukan karena ketagihan. Mereka merokok sebagai sebuah ritual untuk menghormati dewi kesuburan. Merokok adalah sebuah tindakan simbolik religius, bukan untuk merusak tubuh demi pemuasan hawa nafsu. Sekarang, rokok sudah diubah fungsinya untuk kenikmatan sesaat.

Sejak dini, anak-anak kita harus diajari tentang konsep kehidupan. Sebagai contoh adalah penanaman konsep bahwa tubuh adalah anugerah Tuhan. Merusak tubuh dengan cara apapun, meskipun itu menyenangkan, adalah dosa. Ketika filosofi ini tertanam kuat dan kemudian informasi ilmiah tentang bahaya merokok dibeberkan, anak-anak kita akan bisa mengambil keputusan untuk tidak merokok. Cara itu akan jauh lebih efektif daripada pemberian motivasi ekstrinsik dengan cara dipaksa-paksa, ditekan-tekan, dan diintimidasi ini dan itu. Sayangnya, pendidikan kita sekarang sering hanya bersifat pengetahuan (informatif) dan bukannya bersifat pembentukan watak dan kepribadian secara filosofis.

(Haryadi Baskoro SSos MA MHum, Pengamat, Peneliti, dan Penulis bidang Kebudayaan, tinggal di Yogyakarta).

Tidak ada komentar: