Oleh: Risang Rimbatmaja
Global Youth Tobacco Survey atau GYTS Indonesia menyebutkan 24,5 persen remaja laki-laki Indonesia adalah perokok (Kompas, 9/11/2007).
Situasi ini sungguh memprihatinkan, apalagi merokok merupakan pintu ke arah perilaku yang lebih berisiko, termasuk penyalahgunaan narkoba. Namun, yang menjadi pertanyaan sekarang adalah apakah kita sudah memberi solusi yang efektif?
Salah satu pendekatan yang umum ditawarkan untuk mencegah remaja mulai merokok atau menjadi pencandu serius adalah melalui komunikasi publik, seperti melalui penyebaran pesan-pesan tentang bahaya merokok atau kegiatan-kegiatan penyuluhan di sekolah. Pendekatan yang sifatnya lebih enforcement atau penerapan peraturan yang disertai sanksi sejauh ini menghadapi banyak kendala, di antaranya adalah kapasitas dan integritas sekolah untuk mengawasi seluruh gerak-gerik siswa dan tidak adanya panutan dari kelompok guru. Seperti diketahui luas, guru perokok bukanlah hal yang aneh di sekolah. Padahal, seperti kata pepatah lama, guru kencing berdiri, murid kencing berlari.
Sementara, di lingkungan luar sekolah kita juga menyaksikan implementasi peraturan yang (sudah diprediksikan) mandul, seperti Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2003 tentang Pengamanan Rokok bagi Kesehatan dan yang lebih baru, Perda DKI Jakarta No 2/2005 tentang Pengendalian Pencemaran Udara. Meski peraturan yang disebut terakhir berisi sanksi yang tegas, kenyataannya masih banyak ditemui warga yang dengan santai merokok di kendaraan umum atau tempat-tempat umum lainnya tanpa khawatir akan sangsi sampai Rp 50 juta seperti tertulis dalam perda.
Ego orang dewasa
Komunikasi publik kemudian menjadi andalan perubahan perilaku remaja, tetapi pendekatan itu rasanya belum banyak membuahkan hasil. Secara jujur harus diakui bahwa penyebab utama ketidakberhasilan komunikasi publik adalah justru paradigma kelompok orang dewasa sendiri yang cenderung egosentris dan menempatkan remaja sebagai obyek atau bahkan pesakitan.
Remaja selalu dianggap sebagai obyek yang dianggap tidak tahu atau tidak sadar akan bahaya rokok. Karena itu, mereka dipandang sebagai “khalayak yang perlu diberi tahu”. Di lain pihak, para penggiat kampanye antirokok, orang dewasa, diposisikan lebih tinggi, yakni sebagai mereka yang lebih tahu, ahli, berpengalaman, dan lain-lain. Padahal, para remaja perokok mungkin jauh lebih tahu tentang bahaya merokok daripada yang diperkirakan. Bukankah mereka lebih sering membaca peringatan pemerintah tentang bahaya merokok?
Diungkap dalam buku Erica Weinstraub Austin berjudul Reaching Young Audiences (1995), kesalahan umum dalam desain kampanye (bagi kelompok remaja) adalah mengasumsikan bahwa dengan mengangkat sebuah perilaku sebagai suatu yang buruk atau tidak sehat (di dalam pesan-pesan kampanye), maka remaja akan menolak perilaku itu.
Tipikal pesan kampanye antirokok adalah merokok merupakan perilaku yang sangat berbahaya bagi kesehatan karena itu jangan merokok. Dipaparkan bahwa merokok dapat menyebabkan impotensi, gangguan kehamilan, kanker, dan lain-lain. Namun, para remaja, seperti halnya orang dewasa, tentu tidak selalu memaknainya sesuai pesan yang tertulis.
Ketika para ahli kesehatan memandang merokok sebagai perilaku yang merusak kesehatan, banyak remaja (dengan bantuan komunikasi komersial industri rokok) mengartikannya secara positif, sebagai citra kekuatan, perilaku risk-taking yang jantan, dan sebagainya.
Mengutip McGuire (1989), dalam konteks remaja kita gagal mengenali sebagian daya tarik perilaku (buruk) yang justru bisa terletak pada “pelarangannya”.
Paradigma yang egosentris itu sebetulnya bersumber dari ketidakmauan dan atau ketidakmampuan orang dewasa mendengarkan suara remaja dan menganggap diri mereka lebih hebat. Nilai semacam ini sebetulnya banyak dijumpai dalam komunikasi kesehatan di medical era yang di banyak negara sudah ditinggalkan satu generasi lalu (Strategic Planning for Participatory Social and Behavior Change Communication in Public Health, JHU-CCP 2007).
Model komunikasi yang diandalkan dalam medical era adalah model linear SMR (sender medium receiver) di mana perubahan perilaku dipercaya merupakan hasil niscaya dari pengiriman pesan melalui medium tertentu yang sifatnya monolog (satu arah), semisal penyebaran poster atau kegiatan-kegiatan penyuluhan.
Beberapa dekade lalu model komunikasi perubahan perilaku berkembang menjadi lebih dialogis (field-era) di mana umpan balik khalayak dipercaya sebagai komponen penting untuk mengembangkan program yang efektif. Di sini, khalayak tidak lagi dianggap sebagai sasaran seperti benda mati yang tinggal ditembak oleh peluru ajaib. Khalayak menjadi lebih sebagai responden yang perlu diketahui dan diakomodasi reaksinya.
Partisipasi remaja
Namun, pengalaman implementasi program-program komunikasi akhirnya menyimpulkan bahwa dialog saja tidak cukup. Di dekade terakhir, model komunikasi yang terlihat membawa hasil yang lebih berkelanjutan adalah model yang lebih strategik-partisipatif. Tidak ada lagi batas yang tegas antara khalayak dengan pemrogram. Yang dipentingkan adalah kolaborasi yang egaliter. Duduk sama rendah, berdiri sama tinggi. Di sini, remaja menjadi warga yang memiliki posisi yang sama dengan orang dewasa penggiat antirokok. Mereka bersuara, mendapat hak untuk bersama-sama berpikir, bergerak mencegah ataupun mengubah perilaku merokok, dan juga menilai hasilnya.
Memahami suara remaja akan menghasilkan program dengan pendekatan yang berbeda. Contoh yang klasik dalam kampanye antirokok adalah Program Truth yang difasilitasi oleh The American Legacy Foundation (Sly, Heald & Ray 2001 di dalam Panduan Lapangan Merancang Strategi Komunikasi Kesehatan, JHU/CCP 2003). Alih-alih mengeksploitasi dampak rokok terhadap kesehatan remaja, Program Truth menguatkan identitas remaja sebagai pemberontak, pengambil risiko, atau orang yang mandiri yang tengah berkembang dalam diri remaja.
Dalam kampanye Truth, perusahaan tembakau dikuliti dan diperlihatkan sebagai penjahat yang menjual produk yang mereka sendiri sudah tahu bahayanya. Dengan mengungkap “kebenaran” tentang perusahaan rokok, kampanye memberi alasan yang kuat bagi orang muda yang tengah memiliki hasrat memberontak yang kuat untuk melakukan pemberontakan terhadap perusahaan rokok raksasa yang berusaha keras mencelakakan mereka.
Sly, Heald dan Ray (2001) melaporkan bahwa pendekatan Truth membawa hasil yang cukup menggembirakan. Negara Bagian Florida melaporkan bahwa kampanye ini menghasilkan angka kesadaran yang tinggi, perubahan signifikan dalam sikap atau kepercayaan dan menurunkan angka merokok di kalangan remaja.
Perubahan positif semacam itu tentu dibutuhkan Indonesia. Namun, kita harus mengembangkan sendiri program terbaik untuk menanggulangi masalah remaja dan merokok.
(Risang Rimbatmaja Volunter di Koalisi untuk Indonesia Sehat dan Forum Komunikasi Gizi dan Kesehatan)
Lokasi Pengunjung Blog
Kamis, 07 Mei 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar